The Other Side of Me: Bidadari Itu Adalah Ibu

Monday, January 16, 2012

Bidadari Itu Adalah Ibu


Dear Ibu…
Apa kabar Ibu disana? Untaian doa tak lelah kupersembahkan untuk Ibu. Harapku semoga Ibu selalu dalam lindungan Allah Yang Maha Besar. Mungkin doaku tak sebanding dengan setiap doa yang engkau ukir untuk anak-anakmu di setiap hela nafasmu, doa yang mengiringi setiap langkahku, doa yang menjadikanku seperti aku yang sekarang.
Aku bangga padamu, Ibu…
Kita bukanlah orang berada, tapi kau tak akan membiarkan anak-anakmu kelaparan. Berapa gaji Bapak yang waktu itu hanya sebagai penyapu jalan? Tidak cukup untuk makan orang serumah selama sebulan, apalagi ditambah biaya sekolahku dan kakak, belum lagi susu untuk adik yang masih bayi. Tapi kau tak hilang akal. Bangun dini hari kau jalani, membuat penganan untuk diijual, begitu setiap hari selama bertahun-tahun. Tak ada keluh kesah apalagi gerutu. Semua kau lakukan dengan keikhlasan, karena baktimu pada Bapak dan cintamu pada kami, anak-anakmu. Kau wanita tegar dan tangguh, Ibu. Sosok yang sangat aku kagumi. Aku ingin menjadi sepertimu.
Tahukah kau, Ibu…
Dulu aku merasa kau hanya mengganggu saja. Tak kau biarkan aku bangun siang, padahal itu hari libur. Segala pekerjaan rumah kau bebankan. Kau suruh aku memasak, padahal aku benci memasak. Kadang aku berpikir kau tidak sayang padaku. Di luar sana teman-temanku riang bermain. Tapi aku? Hanya dirumah, menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah tangga. Dan sekarang baru aku sadar, semua itu hanya untuk mendidikku. Kau tak pernah membiarkanku bermanja-manja, agar aku tidak tumbuh menjadi anak manja yang bisanya hanya merengek. Segala tugas yang kau berikan itu, karena kau berharap aku menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab. Kau suruh aku memasak, karena aku ini perempuan. Kau tak ingin anak perempuanmu tidak bisa memasak. Perempuan harus bisa masak, katamu. Dan sekarang baru aku merasakan, betapa aku sangat membutuhkan kemampuan memasak itu. Dan aku merasa bersyukur karena dari kecil kau sudah membiasakanku untuk memasak.
Aku kangen Ibu…
Dua tahun lebih, laut dan pulau memisahkan kita, hanya sesekali bertatap muka. Jarak membuat kita jauh. Tetapi, Ibu, aku merasakan kehadiranmu di setiap detik hidupku, karena kau selalu ada dekat di hatiku, dan karenanya aku bisa bertahan melewati hari demi hari di tanah asing ini seorang diri. Tak banyak ucapku untukmu, hanya maaf dan terima kasihku yang tak pernah cukup untuk Ibu.
Ampuni aku, Ibu…
Terlalu banyak luka yang aku torehkan di hati lembutmu. Aku yang keras kepala, aku yang pembangkang, tidak mau mendengar nasehatmu, bahkan mengabaikan perintahmu. Tak terhitung kata-kata kasar yang kuhujamkan padamu. Ibu, akankah kudapatkan surga? Bila surga itu berada tepat di bawah kakimu. Pantaskah aku, Ibu? Sementara terlalu banyak salah kubuat pada sosok bidadari pemilik kaki itu.
Maafkan anakmu, Ibu…
Setelah semua yang kau lakukan untukku, sudah cukupkah balasan dariku? Tidak! Sampai akhir nafasku pun tidak akan pernah cukup aku membalasnya, meskipun aku tahu, tak pernah sedikitpun engkau mengharap balasan dari anak-anakmu. Maafkan aku yang belum sepenuhnya bisa membahagiakanmu. Maafkan anakmu yang belum mampu mengabulkan permintaan Ibu. Hanya satu permintaan sederhana, selalu dekat dengan Ibu. Egoiskah aku, Ibu? Lebih memilih pergi dari rumah, meninggalkan Ibu, ke pulau asing ini demi karir dan masa depanku sendiri? Tapi semua ini aku lakukan demi bisa membahagiakan Ibu dan Bapak. Berharap suatu saat nanti bisa kubeli mobil untuk Bapak, biar tidak lagi merasakan panasnya sengatan matahari menusuk kulit ataupun dinginnya hujan yang mengguyur tubuh saat bekerja. Berharap besok bisa kuhadiahkan perhiasan yang bagus dan berkilauan yang selama ini tak pernah kau miliki. Dan aku sangat berharap bisa membawa Ibu dan Bapak ke rumah Allah, mencium Ka’bah, berhaji seperti yang kau impikan.
Terima kasih, Ibu, kau lah bidadariku….
Bidadari yang rela meminjamkan rahimnya untuk kutinggali sebelum aku dapat merasakan pelukan dunia, bidadari yang mempertaruhkan nyawanya agar aku bisa melihat dunia yang serba fana, bidadari yang mencurahkan segenap cinta dan kasih sayangnya tanpa mengharap balas untuk merawatku, membesarkanku, mendidikku. Terima kasih untuk setiap doamu. Tanpa doa-doa panjangmu, aku tidak mungkin berada di tempatku sekarang. Lihatlah hidupku kini, aku bahagia dengan pekerjaanku, bahagia dengan keluarga kecilku. Semua ini karena ada Ibu di setiap langkahku. Ribuan kata terima kasih tak kan cukup menggantikan semua yang telah Ibu lakukan.
Aku sayang Ibu di setiap detak jantung dan hembus nafasku
Aku sayang Ibu, dulu… sekarang… nanti… selamanya… 

*Dibukukan dalam antologi bersama "Dear Mama #1 (Nulisbuku)*

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week