The Other Side of Me: Malaikat Kecilku

Monday, January 16, 2012

Malaikat Kecilku


            Jam 11.30, sebentar lagi harus jemput Aira di sekolahnya. Aku memberesi barang-barangku dan bergegas keluar. Aku menghampiri Mia, sekretarisku, “Mia, tolong siapin berkas-berkas buat rapat nanti sore ya, saya jemput Aira dulu,”
            “Baik, Bu. Sebagian sudah saya siapkan,” jawab Mia.
Mia memang sekretaris yang bisa diandalkan. Pintar dan cekatan. Aku sangat suka bekerja dengannya. Cepat aku memacu mobil menuju sekolah Aira. Aira adalah anakku satu-satunya. Usianya 5 tahun, dan sekarang dia bersekolah di TK Harapan Bangsa.
            Aku segera turun dari mobil dan mencari Aira di dalam sekolahnya. Biasanya dia ditemani gurunya yang bernama Bu Anis menungguku menjemputnya. Dan benar saja, tampak Bu Anis dan Aira sedang duduk di depan kelas menungguku.
            “Terima kasih untuk hari ini.” Kataku seperti yang biasa aku ucapkan setiap harinya kepada Bu Anis.
            “Sama-sama. Maaf anak-anak memang suka usil sama Aira,” guru itu menjelaskan padaku.
            “Saya mengerti,” hanya itu yang bisa aku katakan. Wajar kalau anak-anak lain tidak bisa berteman dengan Aira. Atau lebih tepatnya Aira tidak bisa berteman dengan mereka.
“Bu, ini ada undangan perpisahan kelas nol besar. Kebetulan anak-anak dari kelas nol kecil akan tampil menyanyi di acara tersebut, termasuk Aira” Bu Anis menyerahkan selembar undangan berwarna biru. aku hanya tersenyum menerimanya. Setelah mengucapkan terima kasih aku bergegas pamit dan mengajak Aira pulang. Aku tidak tahu akan datang atau tidak ke acara tersebut. Tapi….apa yang tadi Bu Anis bilang? Aira ikut tampil bersama anak kelas nol kecil lainnya? Apa tidak salah? Ah mungkin Bu Anis hanya bercanda.
            Sesampainya di rumah aku menyuruh Babysitter yang biasa mengurus Aira untuk menyiapkan makan siang Aira, sementara aku mengganti pakaiannya.
            “Aira hari ini nakal nggak?” aku bertanya padanya, meskipun aku tahu percuma saja aku mengajaknya bicara. Aira hanya diam menatap jendela, sambil tangannya memainkan bonekanya. Aku menyuapinya, tapi dia tidak mau. Aku memaksanya. Aira marah, menjerit-jerit dan menumpahkan makanannya.
            “Aira kamu apa-apaan sih? Diam mama bilang!” seketika emosiku keluar. Aku meneriakinya dan memegangi kedua tangannya yang siap melempar semua benda di dekatnya. Aira berusaha melepaskan peganganku sambil terus berteriak.
            “Sariiii…. suruh Aira diam!” aku panggil babysitter Aira untuk menenangkannya. Aku tidak tahan menghadapi Aira yang seperti itu. Aku berlalu menuju kamar. Dan aku menangis.
***
            “Perkembangan fungsi otak anak Ibu mengalami gangguan, itu yang menyebabkan Aira tidak mampu mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri. Jelas sekali gejala-gejala yang diperlihatkan oleh Aira. Matanya tidak bersinar seperti anak-anak lain, kontak matanya juga sangat kurang, pandangannya cenderung kosong. Perkembangan bicaranya juga sangat lamban. Biasanya anak seusia Aira sudah bisa berbicara walaupun kurang jelas. Tapi Aira sama sekali belum ada tanda-tanda mulai bicara. Aira juga mudah marah kalau merasa terganggu dan tidak pernah menanggapi orang lain. Aira mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain. Jadi bisa saya pastikan, Aira menderita Autis Infantil sehingga mengalami kegagalan perkembangan.” Dokter menjelaskan panjang lebar tentang keadaan Aira.
            Betapa kagetnya aku mendengar penjelasan dokter tentang Aira. Aku tidak pernah menyangka keanehan-keanehan pada Aira adalah suatu penyakit, kelainan. Aku memang kurang memperhatikan pertumbuhan Aira karena terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Begitu juga papanya Aira, sibuk dengan kegiatan politiknya.
            “Apa Aira bisa sembuh, dok?” tanyaku setelah bisa menguasai diri.
            “Autis memiliki kemungkinan untuk bisa disembuhkan, tergantung dari berat tidaknya gangguan yang ada dan bagaimana penangganannya. Jika ditangani dengan baik sejak dini, kemungkinan untuk sembuh lebih besar.” Kata dokter.
            “Beri perhatian lebih padanya. Butuh kesabaran ekstra menghadapinya. Utamakan pendekatan psikologi dan pedagogi, arahkan perilakunya, tingkatkan kecerdasannya, latih kemandirian, ajarkan kerjasama, dan ajarkan bersosisalisasi. Selain berkonsultasi dengan dokter sebaiknya anda juga berkonsultasi dengan psikolog dan orthopedagog. Aira juga perlu menjalani beberapa terapi.” Dokter menambahkan.
            Itu yang dikatakan dokter dua tahun lalu. Aira, malaikat kecilku. Autis. Hari itu kebahagian seakan direnggut dari keluarga kami. Gadis kecilku yang sangat aku sayangi, harus mengalami ini semua. Aku tidak bisa menerima semua yang dikatakan dokter. Aku tidak menuruti saran dokter, malah aku semakin menyibukkan diri dengan pekerjaanku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Aku tidak tahan kalau harus berlama-lama melihat Aira. Sedih. Bukan karena aku tidak sayang pada anakku. Justru karena aku sangat sayang, aku tidak bisa melihat anakku seperti ini. Aku tidak bisa menerimanya. Aku ingin Aira seperti anak-anak lainnya. Normal. Tuhan, kenapa harus Aira yang mengalami ini semua? Kenapa harus anakku?
***
            “Pa, apa kita harus memasukkan Aira ke SLB?” suatu hari aku bertanya kepada suamiku.
            “Tidak! Aira harus sekolah di sekolah umum.” Jawab suamiku.
            “Tapi, Pa, Aira butuh penanganan ekstra. Di SLB pasti ada guru yang terlatih untuk menangani anak-anak seperti Aira. Kalau di sekolah umum…”
            “Pokoknya Aira harus masuk sekolah umum. Titik. Apa kata orang kalau anak kita sekolah di SLB? Mau ditaruh dimana muka Papa? Ini bisa berpengaruh buruk untuk karir Papa, Ma!” suamiku memotong ucapanku.
            “Besok kita daftarkan Aira di TK Harapan Bangsa, sekolah yang paling bagus di kota ini. Berapapun akan Papa bayar.” Dia melanjutkan.
Aku hanya terdiam tanpa bisa melawan. Aku lebih suka kalau Aira sekolah di tempat yang seharusnya, SLB. Aira butuh itu. Guru-guru di sekolah umum pasti tidak akan bisa menangani malaikat kecilku dengan baik. Mungkin juga mereka tidak akan tahan menghadapi Aira yang sering marah-marah dan berteriak.
            Esoknya kami mendaftarkan Aira ke TK Harapan Bangsa seperti kemauan Papanya. Sekolah yang bagus dengan fasilitas yang lengkap. Seperti yang suamiku bilang, ini adalah sekolah TK terbaik di kota ini. Aku setuju soal itu. Tapi, sebaik apapun sekolah ini tidak akan lebih baik untuk Aira.
            “Maaf tapi kami tidak bisa menerima Aira untuk bersekolah disini.” Kepala Sekolah menolak anak kami.
            “Saya akan bayar lebih, berapapun, asalkan Aira bisa bersekolah disini.” Papa Aira tetap bersikeras agar Aira diterima dengan menawarkan pembayaran lebih.
            ”Ini bukan masalah uang, Pak. Kami tidak punya guru atau tenaga khusus yang bisa menangani anak seperti Aira. Aira butuh penanganan khusus dari orang-orang yang punya keahlian untuk itu. Anda bisa memasukkan Aira ke SLB. Aira akan mendapatkan penanganan yang lebih baik disana.” Kepala Sekolah itu menjelaskan.
            “Tolonglah, Bu… biar Aira bersekolah disini. Kami tidak mungkin memasukkannya ke SLB. Itu akan berpengaruh buruk pada karir politik suami saya, yang akan mencalonkan diri menjadi Walikota. Apa kata orang kalau tahu anak kami abnormal dan sekolah di SLB? Tolonglah, Bu, saya mohon.” Aku mencoba memohon kepada Kepala Sekolah dan menjelaskan alasan kami tidak bisa memasukkan Aira ke SLB.
“Tapi, Bu, di sekolah kami ini tidak ada guru untuk anak berkebutuhan khusus seperti Aira. Dan kami tidak tahu bagaimana cara menanggani dan mengajar anak seperti Aira. Saya hanya tidak mau keadaan Aira bertambah buruk kalau bersekolah di sekolah umum.” Elak Kepala Sekolah lagi.
Aku dan suamiku terus memohon dan memohon agar Aira diterima, sampai akhirnya Ibu Kepala Sekolah mengijinkan Aira sekolah disana.
***
            Tanpa terasa sudah setahun Aira bersekolah di TK, di kelas nol kecil. Aku ambil undangan berwarna biru yang tergeletak di atas meja, masih bimbang memutuskan apakah akan hadir atau tidak. Yang aku pikirkan hanya Aira, untuk kebaikan Aira.
Kami memutuskan untuk datang ke acara perpisahan kelas nol besar tersebut setelah Bu Anis meyakinkan kami untuk datang dan melihat penampilan Aira bersama teman-temannya. Aku tidak yakin Aira bisa melakukannya. Tadinya aku tidak mau datang. Bagaimana kalau Aira tiba-tiba marah dan berteriak-teriak di panggung? Bagaimana kalau Aira mengacaukan semuanya? Dan orang-orang akan tahu kalau Aira berbeda dengan anak-anak mereka. Tapi Bu Anis meyakinkan kami bahwa Aira baik-baik saja dan bisa menari sama baiknya dengan teman-temannya yang lain. Yang normal.
            Dan sekarang, di panggung itu kami melihat putri kecil kami. Aira cantik sekali memakai gaun warna putih gading dan bando dengan bunga-bunga mawar kecil itu. Dia berdiri paling depan. Apa Bu Anis tidak salah menempatkan Aira di depan? Dan betapa terkejutnya aku melihatnya menari. Ternyata Aira bisa melakukannya, bahkan dia menari dengan sangat lincah. Airaku tidak seperti anak yang…. Autis. Dia terlihat normal. Aku benar-benar terharu melihat ini semua dan tanpa terasa air mataku jatuh. Aku benar-benar bangga melihat gadis kecilku.
            “Wah bagus sekali tarian anak yang di depan itu, cantik lagi” ujar seorang ibu yang duduk dibelakangku. Aku menoleh ke belakang dan berkata dengan bangganya, “Dia anak saya.” Aku tersenyum dan bertepuk tangan sepanjang pertunjukan.
            Setelah acara selesai, kami bergegas ke belakang panggung. Ingin sekali aku bertemu dan memeluk malaikat kecilku. Aku melihat Bu Anis sedang memeluk Aira.
            “Terima kasih untuk hari ini” aku menyalami Bu Anis dan mengucapkan terima kasih.
            “Sungguh terima kasih telah membimbing Aira. Saya benar-benar tidak menyangka Bu Anis yang bukan orang tuanya justru bisa menyayangi Aira jauh lebih baik dari kami. Terima kasih atas kesabaran dan kasih sayang Bu Anis kepada Aira, saya minta maaf atas ketidakpedulian saya pada Aira selama ini” aku menambahkan.
 “Sama-sama Bu, saya turut gembira dengan perkembangan Aira. Tapi jangan minta maaf pada saya, mintalah maaf kepada Aira, anak yang ibu abaikan selama ini. Dan satu lagi, saya minta ibu jangan pernah lagi menyebut Aira abnormal. Dia istimewa, itu saja.” Ujar Bu Anis yang kemudian meninggalkan kami bertiga.
Aku memeluk Aira, dan kali ini dia tidak berontak ataupun marah. Aku menciuminya. Dia tersenyum, dengan tatapan memandang ke pintu di belakangku.
“Papa nggak nyangka Aira bisa menari sama teman-temannya.” Nampak jelas suamiku sama bangganya denganku.
“Mama juga nggak nyangka, Pa. Tadinya Mama pikir, Aira akan mengacaukan acara ini.” Ujarku.
“Mama minta maaf ya sayang. Mama sering ninggalin Aira, nggak merhatiin Aira. Mama dan Papa sayang sama Aira. Mama janji, akan lebih perhatian sama Aira, lebih sering nemenin Aira,” ujarku pada Aira yang masih memandangi pintu, dan tangannya bergerak-gerak naik turun. Seperti apapun keadaannya, dia tetaplah anakku, anak yang sangat aku sayangi sampai kapanpun. Tanpa terasa air mataku kembali jatuh. 

- Ide cerita dari sahabatku Tha Mahardika-

*Dibukukan dalam antologi bersama "Tanya 10 Hati" (Kodok Hitam Putih & Nulisbuku)*


No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week