The Other Side of Me: Genggaman Tangan

Saturday, July 7, 2012

Genggaman Tangan

Cerita kedua puluh dua
Cerita kedua puluh tiga

Kembali Luna membaca ulang tulisan di selembar kertas yang baru saja diselesaikannya. Dia menarik nafas, dalam dan panjang. Mengapa hidupnya jadi serumit ini?

Dia merasa sangat sepi. Suara gemuruh air terjun Grojogan Sewu di depannya ini pun tak bisa menghilangkan sepi yang dia rasakan. Sepertinya enak menjadi air terjun itu. Mengalir saja mengikuti arus, tanpa harus berpikir untuk melawan arus. Tapi bukankah membosankan jika hidup hanya mengalir mengikuti arus? Tak ada tantangan yang bisa ditaklukkan. Sangat berrtolak belakang dengan sifatnya yang sangat menyukai tantangan, bahkan terkesan mencari-cari tantangan itu.
Luna mengambil kameranya, mengambil gambar sekelompok remaja yang sedang berenang di bawah air terjun. Mereka sangat riang, seperti tak ada beban. Sewaktu seumuran mereka, hidupnya juga begitu. Dia punya keluarga yang lengkap dan menyayanginya, walau pun mereka jarang di rumah. Dia punya Arlan yang setia menemaninya. Semuanya terasa sempurna. Sebelum Baruna kembali.

Perlahan, semua menjadi rumit dan di luar kendali. Baruna pulang. Luna jatuh cinta pada sahabat lamanya itu, tanpa menyadari perasaannya pada Arlan. Dan setelah dia sadar, semua sudah terlambat. Dia mencintai mereka berdua, sahabatnya. Baruna, sosok lelaki sempurna yang dengan mudah dapat memikat hati perempuan manapun, termasuk Luna. Dia tergila-gila pada Baruna. Arlan, sosok lelaki yang sangat dibutuhkannya. Hidupnya tak akan lengkap tanpa Arlan.

Pagi itu, di hari dia membunuh Arlan, yang ada di hatinya hanya kekecewaan. Dua lelaki yang dicintainya ternyata…
Luna kecewa pada Arlan yang telah mengkhianatinya. Apa tidak cukup untuknya saja cinta Arlan? Apa selama ini Arlan hanya berpura-pura saja, tidak benar-benar mencintainya? Pagi itu, dia lebih memilih menghabisi Arlan dan bukan Baruna, karena Arlan yang lebih membuatnya sakit. Dan dia tidak mungkin bisa menyakiti Baruna yang sangat dipujanya. Tidak sedikit pun.

Tapi sekarang baru dia sadar, keputusan itu salah. Dia menyesal membunuh Arlan. Baru sekarang Luna merasakan sepi yang benar-benar sepi, tanpa Arlan. Memang masih ada Baruna, tapi tidak akan sama. Arlan tidak bisa digantikan oleh siapa pun, bahkan Baruna sekali pun. Luna mencintai Arlan dan memuja Baruna. Sekarang Luna baru bisa melihatnya.

Sebenarnya hidup tidak akan jadi serumit ini jika Luna bisa membaca hatinya lebih jelas. Tapi semua sudah terjadi, sudah melewati genggaman tangannya. Semua keputusan ada di genggamannya, bukan? Dan keputusan demi keputusan telah dia buat. Dia tidak ingin mengulangi lagi keputusan-keputusan yang salah yang lahir dari tangannya. Dia ingin mengakhiri ini. Mengakhiri genggaman tangan mereka bertiga. Arlan sudah tidak ada. Tapi Baruna masih ada. Luna tidak mungkin membunuh Baruna seperti dia membunuh Arlan. Mungkin, dia akan memutuskan Baruna…

“Ya, sepertinya itu pilihan yang lebih baik. Aku tidak ingin lagi mengingat kekacauan hidupku beberapa tahun ini. Aku ingin melepaskan genggamanku dari bayang-bayang masa lalu, dari mereka,” bisik hati Luna. Diambilnya telepon genggam dan memanggil kontak yang sudah ribuan kali dihubunginya.

“Halo, kamu dimana?” tanyanya begitu terdengar jawaban dari seberang.
“Aku di Surabaya,” jawab suara itu.

Bergegas dia membereskan barang-barangnya, melangkah mantap meninggalkan lereng Gunung Lawu untuk melanjutkan kisah hidupnya.

1 comment:

Music Video of The Week