The Other Side of Me: Sasirangan

Monday, July 30, 2012

Sasirangan


Aku kembali. Jadi, kapan kita ketemu lagi?

Sekali lagi kubaca pesan itu. Mungkin sudah puluhan kali kubaca sejak kuterima siang tadi. Hari yang buruk. Buruk sekali untukku. Sekarang tidak ada lagi Baruna untukku. Tidak sebagai kekasih. Tapi mungkin itu juga berarti tidak pula sebagai sahabat. Semua sudah berakhir. Kisah romansa kami, persahabatan kami.

Besok aku ke Banjarmasin. Kamu dimana?

 Akhirnya kubalas juga pesannya. Treett…treett… Handphone dalam genggamanku bergetar.

Ok, kalau gitu kita ketemu di Banjarmasin.
***
Aku sampai di Bandara Syamsudin Noor sekitar pukul 9 pagi, mengambil penerbangan paling pagi dari Juanda. Ada beberapa tempat yang akan kukunjungi selama seminggu di Kalimantan Selatan. Aku sudah tidak sabar untuk memulai petualanganku kali ini. Lucky me, aku punya pekerjaan yang menyenangkan. Masalah seberat apapun, aku rasa tidak akan mengganggunya. Bahkan, menurutku masalah apa saja mudah dilupakan dengan berpetualang.
***

Dan di sinilah aku sekarang. Pagi buta, gelap gulita, dingin menyapa. Tapi begitu ramai dan damai disini. Perahu-perahu memenuhi permukaan Sungai Barito. Percakapan sahut menyahut, suara tawa, dan semua kesibukan itu memecah sunyi pagi ini. Sudah berkali-kali aku ke tempat ini. Pasar Terapung Muara Kuin. Banyak kenangan disini. Bahkan aku pernah nyaris mati juga disini. Bukan nyaris, tapi memang sudah mati. Jantungku sudah berhenti berdetak selama satu menit. Beruntung para dokter itu berhasil membuat jantungku kembali bekerja. Begitulah yang diceritakan Baruna padaku. Yang aku ingat pada hari itu, dia memberiku kain sasirangan, dan kami menyusuri Sungai Barito. Itu saja. Aku tak tahu apa yang terjadi. Begitu aku membuka mata, aku sudah terbaring di rumah sakit dan Baruna tertidur di kursi di samping ranjangku dengan tangan menggenggam tanganku. Andai saja hari itu aku benar-benar mati, dimanakah aku sekarang? Apakah jika hari itu aku mati, semua akan jadi lebih baik?

“Dingin?” sebuah suara lembut menyapaku, dan lengannya melingkarkan sebuah kain ke pundakku. Sasirangan? Kain yang dia bawa ini sama persis dengan kain dari Baruna waktu itu. Ini seperti dejavu.
“Terima kasih,” ucapku.
“Tempat yang indah. Lihat langit itu, warna keemasannya indah sekali.”
Aku mendongak memandang langit. “Ya, pagi disini memang selalu indah. Aku selalu suka menanti matahari disini.”
Sunyi kembali menyergap. Masing-masing membisu, mencoba merekam keindahan semesta yang Tuhan hadirkan dalam ciptaan-Nya yang lain, memori.
“Sejak pertemuan kita di Solo waktu itu, entah kenapa aku jadi kepikiran kamu terus, ya,” ujarnya seraya meringis, tersenyum kaku. Aku menatapnya tajam, menyelidik. Mungkin lebih tepatnya mencoba membangun pertahanan.
“Aku tahu, ini nggak semestinya, Na. Baruna itu temanku, dan kamu pacarnya…”
“Mantan pacarnya,” potongku.
“Apa?”
“Kami sudah putus. Dua hari yang lalu.”
Sekarang giliran dia yang menatapku tajam, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku.
“Hubungan kami terlalu rumit, Jim.”
“Jadi, aku punya kesempatan?”
“Aku sudah putus dengan Baruna, tapi bukan berarti aku akan mempertimbangkan itu. Tidak untuk saat ini.”
“Oke”
“Aku cuma butuh petualangan, Jim. Cuma itu yang bisa membuatku lupa dengan semua masalahku.”
“Aku akan menemanimu.”
“Tidak perlu.”
“Aku tidak minta persetujuanmu,” jawabnya keras kepala. Aku mencubitnya dengan kesal dan dia tertawa. Tawa itu, hangat dan menenangkan. Seperti tawa Arlan.
“Tunggu sebentar, ya,” ujarnya, kemudian berjalan meninggalkanku.
***

Pagi di Sungai Barito minggu lalu adalah terakhir kalinya aku bertemu Jimmy. Dua hari setelah pertemuan kami, mayatnya ditemukan mengapung di Sungai Barito.




No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week