The Other Side of Me: May 2012

Wednesday, May 9, 2012

Sisi Lain Pulau Lombok

             Pulau Lombok memang dikenal dengan keindahan pantai dan kehidupan lautnya yang indah untuk dinikmati. Dan bicara pantai di Lombok, orang pasti akan menyebutkan Pantai Senggigi dan Gili Trawangan yang sangat terkenal bahkan sampai ke mancanegara. Adakah pantai yang lebih indah dari Senggigi dan Gili Trawangan? Jawabannya adalah: BANYAK!!
            Saya tinggal di Lombok, tepatnya di Kota Mataram, tapi saya bukan orang Lombok asli, hanya perantauan yang “kebetulan” bertugas di Mataram. Jadi, mumpung tinggal di Lombok, saya dan teman-teman kantor sering melakukan perjalanan ke tempat-tempat menarik di Pulau Lombok. Itu salah satu hal yang dapat saya syukuri dari penempatan kerja saya yang jauh dari kampung halaman.
            Suatu hari di bulan Desember 2009, kami kedatangan tamu dari kantor pusat. Dan sudah menjadi kebiasaan setiap kali ada pegawai dari kantor pusat datang pasti mereka minta ditemani jalan-jalan. Saya sih senang-senang saja diminta menemani jalan, karena kebetulan waktu itu saya baru beberapa bulan di Lombok, dan baru beberapa tempat yang sudah saya kunjungi, antara lain Senaru, Gili Air, Gili Trawangan, dan Pantai Senggigi. Kami pergi bertujuh, saya, si ibu dari kantor pusat, empat orang teman kantor yang semuanya cewek, dan sopir kantor yang merangkap sebagai guide kami.
            Seharian itu kami ingin menjelajah pantai-pantai di Kabupaten Lombok Tengah yang katanya bagus-bagus. Tujuan pertama kami adalah Pantai Selong Belanak. Perjalanan dari Mataram ke pantai ini sekitar dua jam. Lokasi pantainya sangat jauh dan susah dijangkau dengan kendaraan umum, tipikal kebanyakan pantai di Lombok. Jadi kalau mau jalan-jalan di Lombok, jangan pernah berharap bisa menggunakan angkutan umum kecuali taksi, dan itu berarti pengeluaran besar. Lebih baik menyewa mobil atau motor, dengan resiko agak kesulitan dengan arah jalan karena tidak ada petunjuk jalan khusus menuju tempat wisata. Hal ini sering kami alami, bahkan saya dan teman-teman pernah berjam-jam nyasar sewaktu kami ingin menikmati keindahan Pantai Surga. Jika tidak mau repot, cukup menyewa mobil beserta driver.

Pantai Selong Belanak
            Pantai Selong Belanak adalah pantai yang bagus. Gradasi warna air lautnya sangat keren: biru, biru tua, tosca, dengan hamparan pasir pantai berwarna putih yang halus. Di tengah laut terdapat tiga bukit karang yang menjulang. “Tiga bukit itu seperti Three Sister yang di Australia.” Bu Etty, tamu kami berujar takjub. Kami sempat menikmati ombak lautan dan mengelilingi tiga bukit itu menggunakan kapal nelayan yang kami sewa.
            Sewaktu kami kesana ada beberapa orang wisatawan juga, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Pantai ini tergolong sepi pengunjung, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan Senggigi atau Gili Trawangan, padahal Pantai Selong Belanak tidak kalah bagusnya. Seandainya dikelola dengan lebih baik dan promosi yang memadai, saya yakin Pantai Selong Belanak bisa dijadikan salah satu andalan pariwisata di Pulau Lombok, khususnya Lombok Tengah. Contoh pengelolaan yang kurang memadai salah satunya adalah toilet. Memang ada toilet tetapi jumlahnya sangat terbatas dan sangat kotor dengan air yang alirannya sangat minim. Disana terdapat beberapa cottage dan rumah makan, tetapi kurang tertata dengan baik. Dan satu lagi yang mengecewakan, lingkungan sekitar pantai yang kurang bersih. But overall saya sangat menikmati pemandangan dan keindahan pantainya sehingga melupakan kekurangan-kekurangan di sekitar pantai.
***
Pantai Mawun
            Dari Selong Belanak kami mampir ke Pantai Mawun. Pantai Mawun merupakan pantai kecil berpasir putih yang dikelilingi oleh bukit dengan air yang bersih dan jernih serta ombak yang kecil, sangat cocok untuk berenang dan berjemur. Untuk yang menginginkan ketenangan dalam liburan, cobalah datang ke Pantai Mawun. Suasananya sangat tenang, yang terdengar hanya debur ombak yang melenakan. Hal ini dikarenakan tidak banyak wisatawan yang datang kesana. Sewaktu kami kesana hanya ada beberapa wisatawan mancanegara yang sedang berenang dan berjemur. Just like a private beach. Ingin rasanya mendirikan tenda dan berkemah disana, berenang dan berjemur seharian, pasti sangat menyenangkan. Tidak banyak yang dapat saya ceritakan dari Pantai Mawun selain saya ingin mendirikan rumah kayu di sana, seperti villa pribadi, saking memikatnya pantai ini untuk saya. Jika saya jenuh dengan suasana kota dan pekerjaan, saya akan lari ke villa saya di pinggir Pantai Mawun dan bermalas-malasan seharian. Impian yang sulit terwujud nampaknya,

***
Perjalanan kami berikutnya adalah Pantai Kuta atau yang sekarang disebut pantai Mandalika. Tidak hanya Bali yang punya Pantai Kuta, di Lombok juga ada. Berbeda dengan Pantai Kuta Bali yang berpasir putih, Pantai Kuta Lombok berpasir merica, butiran-butiran pasirnya sebesar merica, berwarna putih kekuningan. Terdapat batu-batu karang di pinggir pantai. Jika Pantai Kuta Bali berada di tengah kota yang ramai, banyak polusi dan bising, Pantai Kuta Lombok terletak jauh dari keramaian, udaranya juga masih segar karena jauh dari polusi walaupun tidak jauh dari jalan raya juga. Kami tidak lama disana, karena merasa terganggu dengan banyaknya penjual souvenir dan mereka ini sangat ngotot. Kalau kita tidak membeli mereka akan terus mengikuti kita, dan jika kita membeli, maka pedagang-pedagang yang lain akan datang dan menyerbu kita. Hal ini membuat wisatawan sangat tidak nyaman. Sangat disayangkan, pantai yang bagus di depan mata tidak bisa kita nikmati karena kita sibuk dengan para pedagang itu.
Pantai Mandalika / Kuta
            Tapi ada satu cerita yang kami dapat dari Pantai Kuta. “Disini ada tradisi Bau Nyale yang biasanya diadakan pada bulan Februari” Mulyadi, driver sekaligus guide kami yang memang orang Sasak asli bercerita kepada kami. “Bau Nyale? Apaan tuh?” tanyaku antusias. Dan diapun mulai bercerita tentang tradisi yang disebut Bau Nyale tersebut.
            Setiap setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret di Pantai Kuta diadakan upacara atau festival yang dikenal dengan Bau Nyale.  Kata “Bau” berasal dari bahasa Sasak yang berarti menangkap atau mengambil, sedangkan “Nyale” adalah sejenis cacing laut yang hidup di batu karang di bawah permukaan laut. Festival ini merupakan tradisi masyarakat Sasak dan berkaitan erat dengan legenda yang berkembang di Lombok tentang seorang putri raja yang sangat cantik jelita bernama Putri Mandalika.  Jadi, karena kecantikan Putri Mandalika, banyak pangeran dari kerajaan lain yang ingin memperistrinya. Setiap lamaran yang datang tidak satupun yang ditolak oleh sang putri. Para pangeran ini tidak terima jika sang putri diperistri oleh banyak pangeran, maka mereka sepakat untuk menentukan siapa yang berhak memperistri Putri Mandalika dengan peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan tersebut, dialah yang berhak mendapatkan sang putri yang cantik. Mendengar kabar tersebut Putri Mandalika segera mencari jalan keluarnya, jangan sampai terjadi peperangan dan ada pertumpahan darah. Putri ingin memilih salah satu dari sekian banyak pangeran yang melamarnya, tetapi hal itu tidak akan menghindarkan adanya pertumpahan darah.
Putri Mandalika mengundang keluarga kerajaan dan seluruh rakyatnya, serta para pangeran yang melamarnya beserta rakyat mereka ke Pantai Kuta. Di hadapan semua yang hadir, sang putri berkata ”Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran. Diriku telah ditakdirkan menjadi nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada bulan dan tanggal saat munculnya nyale di permukaan laut.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, Putri Mandalika menceburkan dirinya ke tengah laut, dan tak lama setelah sang putri ditelan ombak laut, tiba-tiba bermunculan binatang seperti cacing yang banyak sekali dari dasar laut. Cacing laut tersebut memiliki warna yang berbeda-beda, berwarna-warni, putih, hitam, merah, hijau, kuning, dan ada pula yang coklat. Putri Mandalika mengorbankan jiwa dan raganya demi kedamaian. Masyarakat Sasak mempercayai bahwa Nyale yang keluar dari dasar laut setiap setahun sekali tersebut sebagai jelmaan dari Putri Mandalika. Sesuai pesan sang putri, mereka mengambil nyale sebanyak-banyaknya dan menikmatinya, bahkan ada yang langsung dimakan hidup-hidup. Menurut penelitian, nyale memiliki kandungan protein hewani yang sangat tinggi dan dapat membantu mengeluarkan kuman-kuman dalam tubuh.
***
Pantai Tanjung Aan
Pantai Tanjung Aan
Tujuan terakhir kami hari itu adalah Tanjung Aan. Tanjung Aan sangat unik, memiliki dua jenis pasir pantai yaitu pasir putih yang halus seperti tepung dan pasir merica berwarna-warni. Hamparan batu karang memenuhi satu sisi pantai, sedangkan sisi yang lain yang berpasir halus sangat cocok untuk berenang karena bebas dari batu karang, ombak lautpun tidak terlalu besar dan airnya sangat jernih serta pantainya bersih. Ada sebuah bukit yang menjulang di pinggir pantai, yang memungkinkan kita melihat keindahan pantai dari atas bukit. Tanjung Aan sangat menakjubkan, saya sangat suka pantai ini. Tapi sepertinya, lagi-lagi,  pantai yang indah ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Banyak sampah yang dibuang begitu saja di pantai. Hal ini benar-benar sangat disayangkan. Pantai yang sangat indah itu harus tercemar karena kurangnya kesadaran untuk membuang sampah pada tempatnya.
***
            Dalam perjalanan kembali ke Mataram, sempat mengalami kemacetan di perjalanan, hal yang sangat jarang terjadi di Lombok. Kami penasaran dengan penyebab kemacetan itu, apakah ada kecelakaan atau apa. “Paling ada Nyongkol” kata Mulyadi menjawab penasaran kami. Apapula itu Nyongkol?
            Nyongkol atau Nyongkolan adalah salah satu tradisi masyarakat Sasak, yaitu arak-arakan pengantin dari rumah mempelai pria menuju rumah mempelai wanita. Jangan membayangkan arak-arakan pengantin dengan menggunakan mobil atau kendaraan lainnya, karena nyongkolan dilakukan dengan berjalan kaki. Satu pertanyaan saya, bagaimana kalau misalnya rumah mempelai pria di Kabupaten Lombok Timur dan rumah mempelai wanitanya di Kota Mataram? Apakah harus nyongkolan, jalan kaki dari Lombok Timur ke Mataram? Dibayar berapapun saya pasti menolak ikut nyongkolan dari Lombok Timur ke Mataram! Naik mobil saja capek, satu setengah jam perjalanan.
            Dalam rombongan nyongkolan terdiri dari rombongan orang tua dari keluarga laki-laki, pengantin wanita beserta para pendampingnya, diikuti oleh pengantin pria dan pengiringnya, kemudian dibelakang rombongan pengantin adalah penggembira dan pengiring kesenian khas Lombok, seperti tawaq-tawaq, gendeng beleq, gamelan, rebana, dan lain-lain. Semua rombongan tersebut menggunakan pakaian adat Sasak. Tapi yang kami lihat waktu itu, ada segerombol anak muda memakai pakaian hitam-hitam dibarisan paling belakang, membawa sound system dan menyanyikan lagu-lagu yang tengah popular di masyarakat sambil berjoget, padahal kalau adat nyongkol yang asli di zaman dulu kan tidak ada yang seperti itu. Itulah pergeseran budaya. Padahal kalau menurut saya, rombongan tersebut hanya mengganggu saja, terutama untuk warga asing seperti saya yang baru pertama kali melihat tradisi nyongkol. Mungkin bagi mereka kelompok tersebut adalah penggembira, yang membuat suasana semakin semarak dengan lagu-lagu hits masa kini dan tarian mereka. Tetapi menurut saya hal tersebut justru mengurangi nilai adat dan kesan tradisional dari nyongkolan, dan suara musik yang keras dari sound system itu menenggelamkan suara musik dari tawaq-tawaq, gendang beleq, gamelan, dan alat musik tradisional Lombok lainnya.
***
            Bulan mengintip malu-malu dari balik awan sewaktu kami sampai di Mataram. Perjalanan panjang yang melelahkan ditambah tuntutan perut yang menjerit minta makan, memaksa kami untuk segera memutuskan apa yang akan kami santap sebagai hidangan makan malam.
            “Mau makan apa bu?” karena dalam rangka menamani tamu, maka kami membiarkan tamu kami memilih menu makan malam.
            “Mumpung di Lombok, saya mau nyobain Ayam Taliwang” pilihan yang tepat saya rasa.
            Warung Ayam Taliwang Pak Udin yang berada di daerah Cakranegara menjadi pilihan kami. Warung tenda pinggir jalan ini selalu penuh setiap harinya. Beruntung masih ada tempat kosong. Dan ayam bakar madu menjadi pilihan saya, disantap bersama nasi hangat dan plecing kangkung. Yang unik dari ayam taliwang selain bumbunya tentu saja, adalah ayamnya. Ayam yang digunakan adalah ayam yang belum dewasa, dan disajikan utuh dari kepala sampai paha, cuma dibuang cakarnya saja. Kurang lengkap rasanya makan ayam taliwang tanpa plecing kangkung. Kangkung, tauge dan kacang tanah rebus ditambah sedikit parutann kelapa dan tentu saja beberuk yang super pedas. Beberuk adalah sambal khas Lombok. Plecing kangkung adalah menu wajib masyarakat Lombok. Kangkung Lombok agak sedikit berbeda, daunnya sedikit dan batangnya panjang. Banyak pula yang menjadikan kangkung Lombok sebagai oleh-oleh.
            Malam semakin larut. Badan yang lelah dan ayam taliwang yang melenakan perut membuat mata langsung mengantuk. Kami pun mengakhiri perjalanan ini. Perjalanan yang sangat menyenangkan dan mengesankan, walaupun hanya sedikit yang kami kunjungi hari itu. Masih akan lama saya disini, mungkin beberapa tahun lagi. Saya masih punya banyak waktu untuk mencari keindahan lain di Pulau Lombok yang belum banyak orang ketahui. Indonesia memang indah. Maha Besar Allah yang menciptakan alam seindah ini.


Music Video of The Week