The Other Side of Me: June 2012

Tuesday, June 19, 2012

Biru, Jatuh Hati

Cerita keenam belas
Cerita ketujuh belas
Dua hari sebelumnya

“Ayo kita lomba renang. Yang menang bisa makan malam gratis nanti,” Luna mengajukan usul yang menurutku sangat manarik.
“Setuju! Ayo…” tantangku bersemangat.
“Oke, finish nya di kapal itu,” teriak Luna sekali lagi.
Kami bertiga berlari ke arah laut Pangandaran dan mulai berenang ke tengah. Aku tahu, kami berdua pasti kalah dari Luna. Tapi aku tak akan mengalah begitu saja.

“Baruna, jangan curang! Jangan tendang kakiku!”
“Aaw… Arlan! Airnya kena mataku!”
“Kalian berdua curang!”
“Yeeeaahhh aku menang… aku menang… kalian berdua payah!”
Teriakan-teriakan Luna silih berganti. Dia begitu gembira dengan kemenangannya, yang berarti dia bisa makan gratis, dan kami berdua, para pecundang dalam hal renang melawan Luna, yang harus membayarnya.
Luna memang jago berenang. Laut seakan sudah menjadi bagian dari dirinya. Dia selalu mengataiku pecundang karena aku tidak berani menyelam. Ya, Luna sangat jago menyelam.
***

Sehangat Serabi Solo

Cerita keempat belas
Cerita kelima belas

Selamat Ulang Tahun, Luna

Kubaca kalimat yang tertulis di sebuah kartu ucapan berwarna biru, yang kuterima bersama setangkai mawar berwarna sama. Ku pandangi penuh curiga pria yang kini duduk di depanku.
“Siapa kamu?” tanyaku ketus.
“Kan udah bilang tadi, namaku Jimmy,” jawabnya cuek.
“Memangnya kamu kenal aku? Gimana bisa tahu sekarang aku ulang tahun? Dan gimana bisa tahu aku disini?” tanyaku semakin curiga. Dia malah tertawa. Ingin sekali kumasukkan bunga di tanganku ini ke mulutnya yang sedang tertawa lebar. 

Saturday, June 16, 2012

Sepanjang Jalan Braga

Cerita kesepuluh
Cerita kesebelas
Cerita kedua belas
Cerita ketiga belas

 “Mang, boleh saya beli sketsa ini?”
“Ya boleh atuh, Neng.”
“Apa Mamang masih menyimpan fotonya?” tanyaku penasaran.
“Foto apa, Neng?”
“Foto asli dari sketsa ini. Ah, mungkin sudah nggak ada, ya, Mang. Sudah empat tahun yang lalu,” ujarku kecewa.
“Oh… sebentar ya, Neng, Mamang carikan, siapa tahu masih ada.”

Friday, June 15, 2012

Kerudung Merah

Cerita keenam
Cerita ketujuh
Cerita kedelapan
Cerita kesembilan


Dahulu, ada seorang gadis kecil yang tinggal di dekat hutan. Pada saat dia keluar dia selalu menggunakan kerudung merah. Jadi semua orang di desanya memanggilnya gadis berkerudung merah.
Suatu pagi, gadis berkerudung merah berkata kepada ibunya bahwa dia ingin pergi mengunjungi rumah neneknya. Di tengah jalan, dia bertemu dengan serigala dan dia bercerita bahwa dia akan pergi ke rumah neneknya. Tanpa disadarinya, serigala itu lebih dulu sampai ke rumah neneknya dan menyamar menjadi nenek. Gadis berkerudung merah baru sadar ketika serigala ingin memakannya.

“Aku ingin menjadi seperti serigala itu.”
***

Thursday, June 14, 2012

Jingga Di ujung Senja

Cerita keempat 
Cerita kelima


Suasana hiruk pikuk memenuhi tempat ini. Kuedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok Baruna di keramaian. Nihil. Kualihkan pandangan ke Jembatan Ampera yang membentang di atas Sungai Musi.  Warna merahnya berpadu sempurna dengan jingga senja. Air sungai memantulkan redup bayangannya. Aku suka senja. Selalu suka. Sudah tak terhitung senja yang kuhabiskan berdua dengan Baruna

Baruna, lelaki yang kusayangi lebih dari diriku sendiri. Baruna, lelaki yang ingin kumiliki untukku sendiri, tanpa terbagi. Aku bukan hanya mencintai Baruna. Aku memujanya.

Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan

Cerita ketiga


Akhirnya aku kembali ke pulau ini lagi. Satu tahun. Ya, hari  ini tepat satu tahun sejak peristiwa kelam itu.

Kuayunkan langkahku yang terasa berat menuju mercusuar yang tinggi menjulang di depan sana. Aku pernah mencapai lantai tertinggi mercusuar itu, merekam indahnya langit jingga ciptaan Tuhan bersama Luna, gadis manis yang sudah empat tahun ini menjadi kekasihku.  Pernah juga menanti cahaya kuning pagi hari di puncak tertinggi itu bersama dia, kekasihku yang lain.

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


“Tidak! Mama tidak setuju!”
“Tapi, Ma… Andra sayang sama dia,” aku berusaha meyakinkan mama.
“Mama  bilang tidak boleh, ya tidak boleh, Andra!” Mama memandangku galak.
Aku berlari keluar rumah, tidak lagi menghiraukan teriakan mama yang memanggilku. Kubawa langkahku menyusuri jalanan menuju tempat biasa kita bertemu.
Jam besar di atas menara itu menunjukkan pukul 5.10 ketika aku tiba. Aku tahu kamu pasti ada disana, menikmati suasana senja Kota Bukittinggi di bawah Jam Gadang seperti sore-sore yang telah lalu. Jika di hari-hari lalu aku dengan riang datang ke sini, tidak begitu sore ini. Berat untuk memberikan kabar ini padamu. Aku tidak ingin membuatmu sedih. Jalan hidupmu selama ini sudah sangat berat dan aku tidak mau menambahnya lagi.

Music Video of The Week