The Other Side of Me: November 2012

Monday, November 26, 2012

Langit pun Tersenyum



Aku tidak percaya Baruna melamarku. Amerika? Dia ingin kami menikah di Amerika? Ternyata dia benar-benar serius, dia sungguh mencintaiku. Tapi apa memang aku juga mencintainya? Entahlah. Semua menjadi semakin rumit. Mungkin aku salah karena masih berhubungan dengannya. Bukankah aku sudah berjanji akan melupakan dia dan semuanya? Tapi mengapa kami malah menjadi semakin dekat? Dan sekarang dia melamarku. Baiklah, aku mengaku, dia seperti candu bagiku. Semakin aku mencoba menjauhinya, semakin ingin aku dekat dengannya.
Sejak aku kembali, Baruna selalu mengejarku, berusaha untuk membuatku kembali padanya. Aku yang awalnya bersikukuh tidak akan mau mengulang lagi cerita lama kami, pada akhirnya menyerah. Aku kembali jatuh dalam pelukannya. Aku kalah. Pesonanya masih terlalu kuat untuk kuacuhkan. Ternyata aku lemah. Bahkan untuk menjaga janjiku pun aku tak mampu.

Sunday, November 25, 2012

Aku Tak Mengerti



Next trip Museum Kota Makassar, Lan, dan aku sendiri. Kita ketemu di sana, ya? Jam 12.00 aku mendarat. Miss u. Luna.*kecup*

Aku tekan sent dan langsung mematikan ponselku. Senyum tipis tak henti menghiasai wajahku. Aku akan bertemu dengan Arlan lagi, setelah pertemuan kami di Bali beberapa bulan yang lalu. Aku senang karena Arlan baik-baik saja. Hubungan kami sekarang kembali seperti dulu, sahabat, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih dari itu. Itu janji kami. Aku tahu, tidak mudah mengembalikan perasaan cinta itu menjadi sahabat lagi. Namun, aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin. Kalau rasa cinta saja bisa berubah menjadi benci, pasti tidak terlalu sulit menjadikan cinta itu tak lebih dari rasa sayang. Menyakitkan? Mungkin. Tapi rasa sakit sesaat itu akan berbuah rasa tenang dan bahagia sepanjang hidup kami kalau kami bisa melaluinya.

Memori Tentangmu



            Arlan meninggalkan Baruna dengan perasaan kacau. Entah apa yang diinginkannya saat ini. Dia ingin melupakan Baruna, Luna, dan semua masa lalu itu, tapi di sisi lain dia tidak sanggup. Begitu melihat sosok Baruna sekali lagi, semua keinginan yang sudah mantap di dalam jiwanya itu perlahan goyah. Dia masih menginginkan Baruna, dan sekarang dia begitu rindu pada Luna.
            Diambilnya ponsel di saku celananya. Dengan tangan gemetar, Arlan mencoba menekan serangkaian angka yang masih sangat diingatnya. Dia menunggu panggilannya tersambung dengan perasaan cemas. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya,



“Hallo…” sapa suara di seberang. Arlan masih membisu, mencoba mengumpulkan suaranya.
“Luna, ini aku…” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Luna merasa seluruh tubuhnya lemas begitu mendengar jawaban itu. Suara itu… Luna sangat mengenal suara itu. Dia tidak mungkin salah.

Music Video of The Week