The Other Side of Me: Masih Disini

Saturday, April 7, 2012

Masih Disini

Arash
Pesawat yang kutumpangi akhirnya mendarat. Aku kembali ke pulau ini lagi, pulau yang dulu kutinggalkan bersama separuh jiwaku, pulau yang mengenalkanku pada cinta, pada dia. Sosok gadis manis berambut panjang dan berkulit kuning langsat itu kembali berkelebat dalam otakku. Bagaimana kabarnya? Bagaimana kehidupannya kini? Bahagiakah dia? Apakah dia masih mengingatku atau malah sama sekali tidak pernah lagi memikirkanku sejak aku kembali ke tanah kelahiranku? Yang aku tahu hanya satu, sampai sekarang aku tidak pernah berhenti memikirkannya, tidak pernah berhenti mencintainya.
Aku bisa membaca dengan jelas tulisan di gedung bandara itu ketika aku keluar dari pesawat. BANDAR UDARA INTERNASIONAL LOMBOK. Begitu bunyi tulisan itu. Ini bukan bandara yang sama seperti waktu itu. Bukan bandara yang kuinjak ketika pertama kalinya aku tiba di tanah Sasak ini, bukan pula bandara yang kutinggalkan sepuluh tahun lalu, terakhir kalinya aku berada disini. Bandara yang dulu bernama Selaparang, kecil, dan berada di pusat Kota Mataram. Ini bandara baru, jauh lebih besar dari Selaparang dan letaknya jauh dari Kota Mataram, tepatnya di Kabupaten Lombok Tengah. Waktu ternyata dapat membawa perubahan. Apakah kamu juga sudah berubah? Apakah hatimu juga sudah berubah dan berpindah ke hati yang lain? Seperti bandara ini.
Mobil perusahaan yang menjemputku bergerak pelan keluar dari bandara, bersiap menyusuri jalananan menuju Lombok Barat, tepatnya ke hotel tempatku menginap di daerah Senggigi. Aku kembali kesini untuk menghadiri suatu acara untuk mewakili perusahaan tempatku bekerja. Aku kembali kesini juga dengan satu harapan, semoga aku bisa menemukannya.
“Baiq Renata Paramita,” ucapnya kalem saat kuajak kenalan, empat belas tahun yang lalu. Sejak pertama kali melihatnya aku merasakan ada sesuatu yang salah pada jantungku, selalu berdetak cepat sekali ketika berada di dekatnya, bahkan hanya melihatnya dari jauh. Aku merasakan wajahku memanas setiap kali berbincang dengannya. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Entahlah. Aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Kalau memang benar itu cinta, berarti dialah cinta pertamaku.
Semakin lama kami semakin sering bersama, semakin dekat, dan cintaku semakin tumbuh subur. Pada semester ketiga kuberanikan diri memintanya jadi pacarku. Aku masih ingat, sore itu sepulang kuliah aku mengajaknya ke Bukit Malimbu, menikmati senja dan menanti sang mentari menghilang di balik lautan.
“Na, saya nggak bisa lagi jadi teman kamu,” kataku waktu itu. Aku lihat raut mukanya berubah, dia terkejut, dan entah apalagi yang terlukis disana.
“Saya nggak bisa, Na, kalau cuma jadi teman kamu. Saya sayang kamu. Saya maunya jadi pacar kamu. Kamu mau nggak?” tanyaku dengan jantung yang jumpalitan tak karuan. Dia tersenyum, sekilas aku melihat rona merah di pipinya. Dia mengangguk. Aku diterima jadi pacarnya. Sejak saat itu, hari-hariku dipenuhi dengan kebahagiaan. Dimana ada aku, dia pasti juga ada. Kami seperti tak terpisahkan. Aku benar-benar mencintainya sepenuh hati, bahkan sampai sekarang, setelah sepuluh tahun tak mengetahui kabarnya.
Dering ponsel menghentikan lamunanku. Telepon dari bibiku yang tinggal di Mataram. Dulu sewaktu kuliah, empat tahun aku di Mataram, aku tinggal bersama bibiku ini. Bibi adalah adik mama yang paling kecil.
“Assalamu’alaikum, Bi. Kumaha damang?”[1]
“Wa’alaikumsalam, kasep.[2] Alhamdulillah damang.[3] Kata mama kamu, kamu lagi ada tugas di Lombok?”
Muhun[4], Bi. Ada acara di daerah Senggigi.”
“Main atuh ke rumah. Udah lama kamu teh nggak pernah kesini, sejak lulus kuliah. Ieu si Mamang jeung si Sofwan ge tos kangen.[5]” Sofwan adalah sepupuku, anak mamang dan bibi.
Nya atuh, Bi.[6] Nanti kalau ada waktu Arash main ke rumah. Salam kanggo Mamang sareng Sofwan.[7]
Ketika ponsel kumatikan, ternyata mobil yang kutumpangi sudah sampai di Jalan Udayana. Dulu daerah ini masih berupa hutan kota, hanya pohon, jarang ada bangunan. Sekarang sudah banyak bangunan di daerah ini. Dulu belum ada bangunan bertingkat tiga seperti terlihat di seberang sana, kantor salah satu instansi pemerintah. Disamping kantor itu terlihat sedang dibangun juga sebuah gedung yang tak kalah besar dan tingginya dengan kantor disebelahnya. Di depan sana tampak Bandara Selaparang yang terlihat sepi dan kotor, ditinggalkan setelah bandara yang baru itu dibuka. Sepi. Seperti hatiku yang selalu sepi, sejak aku meninggalkan pulau ini. Aku ingat hari itu, seminggu setelah wisuda, ketika aku berpamitan.
“Na, minggu depan saya pergi. Saya akan pulang ke Garut.” Dia hanya diam, menunduk. Ada kesedihan disana. Kesedihan yang sama seperti yang kurasakan.
“Apa nanti kamu akan melupakan saya?” tanyanya lirih, setelah beberapa menit hanya diam.
“Mana mungkin, Na? Saya cinta banget sama kamu. Sampai kapan pun nggak akan mungkin bisa lupain kamu. Saya pasti tetap cinta sama kamu biar pun kita jauh,” aku berusaha meyakinkannya.
“Kamu pasti kembali kesini lagi kan, Rash?” dia bertanya penuh harap. Aku hanya menunduk, tak tahu harus menjawab apa.
“Nggak tahu, Na,” jawabku putus asa.
Aku tidak pernah berharap akhirnya akan seperti ini, seolah jalan begitu berat untuk kami lalui. Setelah aku pulang ke Garut, kami masih berkomunikasi lewat email. Waktu itu kami belum punya ponsel, yang memudahkan untuk berkomunikasi. Email pun, sebenarnya dia tak terlalu paham. Aku yang membuatkan email untuknya. Lima bulan setelah aku kembali ke Garut, dia tak pernah lagi membalas emailku. Aku tidak tahu bagaimana cara untuk menghubunginya. Kucoba mengirim surat, berharap dia akan membalasnya, karena itulah satu-satunya cara yang kutemukan, aku tahu alamat rumahnya. Tetapi yang membalas bukan dia, entah siapa. Dalam surat itu tertulis bahwa rumah itu sudah dijual, dan orang yang membalas suratku adalah pemilik baru rumah itu. Aku sudah bertanya kepada teman-teman kuliah kami, tetapi tak ada yang tahu dimana dia. Sejak saat itulah aku kehilangan jejaknya, kehilangan separuh jiwaku. Tapi tidak cintaku. Cintaku tak pernah hilang untuknya, tetap ada, tersimpan rapi ditempatnya, tak pernah berubah, hingga sekarang.
Aku masih berharap untuk bisa menemukannya, berharap cintanya juga sama, masih tetap untukku. Harapan yang mungkin terdengar gila. Bayangkan, sepuluh tahun tak pernah bertemu, tak ada komunikasi, tak tahu keberadaan satu sama lain, dan aku tidak pernah berusaha untuk mencarinya. Ya, aku tidak pernah sekalipun berusaha kembali ke Lombok untuk mencarinya. Aku takut. Takut jika ternyata tak ada lagi cinta untukku. Takut jika dia sudah melupakanku. Takut jika hatinya kini bukan lagi untukku, tapi untuk orang lain. Itulah mengapa aku diam. Biarlah kusimpan cinta ini untukku sendiri. Biarlah aku menikmati kebodohanku ini seorang diri.
“Sudah sampai, Pak,” ujar sopir di depanku memutus lamunanku.
“Terima kasih, Pak,” balasku. Aku turun dari mobil dan berjalan menuju lobi hotel. Aku hampir sampai di depan meja resepsionis ketika mataku menangkap wajah itu, dan jantungku hampir berhenti bertedak. Dia. Aku tidak akan pernah lupa dengan wajah itu. Seorang wanita yang berdiri di seberang sana adalah dia. Renata.
««
Renata
“Gimana persiapan di Ballroom Rinjani? Jangan lupa, ruangan akan digunakan jam 7 malam, jadi jam 5 harus sudah beres semua. Saya tidak mau ada kesalahan sedikit pun,” aku memberikan instruksi kepada anak buahku. Malam ini ada acara besar. Salah satu perusahaan besar di Indonesia akan mengadakan pertemuan dengan kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Aku tidak ingin membuat malu hotel ini jika sampai ada sesuatu hal yang kurang memuaskan.
Aku baru akan beranjak pergi dari lobi ketika aku melihat seorang tamu memasuki lobi hotel. Tetapi wajah itu sangat familiar. Aku seperti mengenalnya, pernah melihatnya. Nafasku sesak ketika aku berhasil mengingat siapa pemilik wajah itu. Dia. Orang yang selama ini aku rindukan. Orang yang telah meninggalkanku bersama jutaan mimpi yang terus kuyakini. Orang yang membuatku jatuh terperosok ke dasar jurang bernama cinta. Potongan-potongan kenangan berkelebat di depan mataku layaknya penggalan film.
Nyampah juluk se endek’man te siksa. Side jurusan ape?“[8] tanyaku pada lelaki yang duduk disampingku. Hari itu kami akan menjalani ospek yang pasti sangat melelahkan dan menyebalkan.
“Maaf, kamu teh ngomong apa?” tanyanya dengan wajah bengong dan logat yang aneh.
“Kamu bukan orang sini?”
“Bukan. Saya dari Garut.”
 “Garut? Dimana itu Garut?” tanyaku bodoh.
Dia tertawa kecil sebelum menjawab, “Garut teh di Jawa Barat.” Aku hanya melongo sambil memasukkan makananku ke mulut.
“Eh, siapa nama kamu?” tanyanya kemudian.
“Baiq Renata Paramita. Panggil saja Rena,” jawabku seraya mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“Arash. Muhammad Arash Firmansyah,” jawabnya, membalas jabat tanganku.
Itulah pertama kali aku mengenalnya. Seorang pemuda Sunda bernama Arash. Aku pernah bertanya, mengapa dia jauh-jauh kuliah di Mataram, padahal di Pulau Jawa sana banyak perguruan tinggi yang bagus, bahkan banyak orang Lombok yang kuliah di Jawa. Dia ke Mataram untuk menemani tantenya, yang dia panggil bibi, karena waktu itu suami tantenya, yang dia panggil mamang, sedang melanjutkan kuliah di luar negeri. Bibinya itu hanya tinggal berdua dengan anaknya yang masih kecil sejak suaminya ke luar negeri.
Dia pemuda yang baik, pintar, sopan, dan aku merasa nyaman berada di dekatnya. Aku suka mendengarkan dia bicara. Gaya bicaranya enak didengar, dengan logat Sunda yang berayun-ayun. Oh, aku sangat merindukan suara dan gaya bicaranya itu, bahkan sampai sekarang.
Kami semakin dekat, merasa cocok, dan akhirnya jadilah kami sebagai sepasang kekasih, hal yang sudah diprediksi oleh teman-teman kami. Dia pemuda yang romantis. Dia menyatakan perasaanya disaat matahari terbenam di laut kala senja, dia membawakan bunga edelweiss untukku sekembalinya dia dari mendaki Rinjani. Padahal aku tahu, bunga itu tidak boleh diambil sembarangan. Dia bilang, “Biarlah cinta kita tetap abadi, seperti bunga ini, yang tidak pernah layu.” Apakah cintanya masih abadi seperti edelweiss yang sampai sekarang masih kusimpan itu? Ataukah semua itu hanya omong kosong? Kata-kata gombal seorang lelaki. Bukankah lelaki memang jago berkata gombal? Aku tidak tahu. Tidak pernah tahu bagaimana cintanya kini. Yang aku tahu, cinta untuknya masih ada. Kusimpan rapat di sudut hatiku, tanpa seorangpun yang tahu.
Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Sepenuh hati. Dia benar-benar bisa menguasai hatiku. Saat aku sedih, dialah yang bisa membuatku tertawa. Saat aku gundah, dia yang menghapus gundah itu. Saat aku merasa lemah, dia yang menguatkanku. Saat aku bahagia, dia akan menjadi lebih bahagia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku tanpa dia. Dia segala-galanya bagiku. Dia adalah pusat gravitasiku. Aku benar-benar kehilangan arah saat dia pergi meninggalkan pulau ini, meninggalkanku.
Waktu dia bilang akan kembali ke Garut, hatiku terasa sakit. Aku akan kehilangan dia, aku tahu itu. Aku tahu dia tidak akan kembali lagi kesini, setelah dengan ragu dia menjawab tidak tahu, sewaktu aku bertanya apakah dia akan kembali. Tapi aku tetap percaya, dia akan kembali kesini, kembali padaku, dan kami akan hidup bahagia bersama. Tapi yang seperti itu hanya terjadi dalam dongeng, dan aku tidak hidup dalam dunia dongeng.
Lima bulan pertama setelah dia kembali ke Jawa kami masih berkomunikasi lewat email. Dulu, aku adalah orang yang gaptek, tidak pernah menggunakan email sebelumnya. Dia yang membuatkan email dan mengajariku bagaimana menggunakannya. Hari itu ketika aku ke warnet untuk mengecek apakah dia sudah membalas emailku, aku tidak bisa membukanya. Aku meminta bantuan kepada penjaga warnet, dia bilang mungkin emailku di hack. Aku tidak tahu pasti apa artinya itu. Yang aku tahu, aku tidak bisa lagi membuka emailku, tidak bisa lagi menulis email untuknya, tidak bisa lagi membaca balasan emailnya. Aku menangis. aku marah. Entah harus marah kepada siapa.
Sebulan kemudian bapakku dipindah tugaskan ke Pulau Sumbawa, di Kabupaten Bima. Kami semua pindah kesana. Aku tidak rela meninggalkan Lombok. Bagaimana kalau nanti dia kembali dan mencariku? Aku tidak bisa pergi tanpa memberitahunya. Tapi bagaimana aku harus memberitahunya? Akhirnya kami pindah. Tiga tahun aku tinggal di Sumbawa sebelum akhirnya kembali ke Lombok untuk bekerja di salah satu hotel berbintang di daerah Senggigi.
Sedetik pun aku tidak pernah melupakannya, padahal aku sangat ingin. Aku ingin menghapusnya dari hatiku. Aku sudah tidak tahan dengan siksaan perasaan ini. Rasa rindu yang mengkristal dan rasa cinta yang menggunung. Sudah cukup. Aku tidak mungkin lagi mengharapkannya. Ini sudah terlalu lama. Mungkin dia sudah bahagia disana, dengan gadis lain. Mungkin dia sudah melupakanku. Untuk apa aku masih mengharapkannya? Itu kemauan otakku, tapi tidak hatiku. Otakku ingin melenyapkannya, tapi hatiku terus menjaganya. Sampai sekarang, rasa itu masih ada. Damn! Aku masih mencintainya, tak pernah berubah dari dulu, belasan tahun yang lalu.
Dan sekarang, orang yang sudah sepuluh tahun ini menghilang, yang sudah kukunci rapat-rapat di sudut hatiku, tiba-tiba muncul begitu saja di hadapanku.
««
Arash
Aku tidak tahu bagaimana mulanya sampai kami berdua bisa duduk berhadapan di pinggir kolam renang hotel. Dia masih sama seperti dulu, tetap cantik, hanya sedikit berubah. Raut wajah polosnya sekarang terlihat tegas dan semakin matang. Ya, karena dia bukan gadis remaja lagi. Dia sudah tumbuh menjadi wanita dewasa.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku. Bukan sekedar basa-basi, tapi aku benar-benar ingin tahu kabarnya.
“Seperti yang kamu lihat, saya baik, sangat baik,” jawabnya. “Sedang apa kamu di Lombok?”
“Perusahaan tempat saya bekerja ngadain acara disini,” jawabku pendek. Kami kembali terdiam. “Lombok sudah banyak berubah, ya,” aku berusaha mencari topik pembicaraan untuk mengurangi rasa canggung yang sangat terasa diantara kami.
“Ya, banyak yang berubah. Waktu terus berjalan, Rash, dan perubahan selalu mengirinya. Kapan terkahir kali kamu ke Lombok?”
Aku terhenyak mendengar kata-katanya. Kuhela nafas panjang sebelum menjawab, “Sepuluh tahun yang lalu.”
“Jadi, kamu nggak pernah kembali lagi kesini sejak saat itu?” tanyanya. Entahlah, sepertinya aku menangkap nada kecewa disana. Aku hanya mengangguk, memandang tajam kolam renang yang tak tahu apa-apa itu.
“Benar. Kamu nggak pernah nyari saya. Kamu lupa sama janji kamu. Kamu nggak tahu gimana sakit dan lelahnya saya nunggu kamu, Rash,” ujarnya lirih, matanya basah oleh air mata yang berusaha kuat ditahannya.
“Saya nggak pernah lupa sama janji saya, Na. Cinta saya buat kamu nggak pernah berubah. Selama ini saya selalu berharap kita bisa ketemu lagi, berharap kamu juga tetap cinta sama saya seperti dulu.”
“Kamu cuma berharap, Rash? Cuma berharap tapi tidak pernah mencari!” ujarnya sinis.
“Saya harus mencari kemana, Na? Kamu tidak pernah membalas email saya, bahkan kamu pindah rumah dan saya tidak tahu alamat rumah kamu yang baru. Dimana saya harus mencari?” kesunyian kembali menyelimuti.
“Baiklah, saya memang bisa saja datang ke Lombok untuk nyari kamu, tapi saya takut untuk mencari. Takut kamu sudah melupakan saya, takut kamu sudah nggak cinta lagi sama saya. Saya takut, Na. Sampai sekarang saya masih cinta sama kamu, masih nunggu kamu, masih memegang janji saya, untuk nggak ngelupain kamu dan akan terus mencintai kamu.”
Dia menangis. Ingin sekali aku memeluk untuk menenangkannya, menghapus air matanya. Tapi sekali lagi aku tidak berani. Aku hanya menggenggam tanggannya.
“Seharusnya kamu tidak takut untuk mencari saya. Seharusnya kamu tahu, saya masih tetap nunggu kamu. Seharusnya kamu datang nyari saya, Rash! Tapi kamu nggak datang!”
“Maaf, Na. Maafkan saya…” bisikku lirih.
“bertahun-tahun saya hidup dalam penantian semu. Berharap kamu kembali kesini. Bertahun-tahun saya hidup dalam siksaan rindu. Kamu tahu cinta saya tidak akan pernah mati. Seharusnya kamu tahu itu, Rash. Bahkan sampai sekarang. Saya masih mencintai kamu sampai sekarang,” dia kembali menangis.
Dia masih mencintaiku sampai sekarang? Tiba-tiba saja hatiku yang semula sesak berubah menjadi sangat lega. Dia masih mencintaiku, sama seperti aku yang juga masih mencintainya. Ternyata waktu tidak merubah perasaan kami. Waktu tidak merubah apa pun. Kami masih saling mencintai.
“Benarkah itu, Na? Benarkah kamu masih mencintai saya?” tanyaku untuk memastikan bahwa dia tidak sedang bercanda atau membohongiku, walaupun aku yakin dia tidak sedang bercanda dan tidak mungkin berbohong.
“Ya, saya masih mencintai kamu.”
“Apakah masih ada kesempatan buat saya untuk memperbaiki semuanya, Na? Tolong, Na, biarkan saya menebus semua kesalahan saya. Saya janji, kali ini nggak akan lagi ninggalin kamu. Saya nggak mungkin mengulangi kesalahan yang sama. Saya nggak mungkin mau melewati hari dengan siksaan yang sama sekali lagi,” aku memohon padanya, berharap akhir yang bahagia untuk kami berdua. Seperti dongeng, pikirku. Setelah semua kepedihan ini, kami akan bahagia pada akhir kisah.
“Kamu nggak lihat ini, Rash?” dia mengangkat tangan kanannya. Aku baru sadar, ada cincin di jari manisnya. Dia sudah menikah.
“Saya lelah dengan semua penantian dan harapan yang nggak pasti. Walaupun saya tahu, saya nggak akan pernah bisa lupain kamu dan akan selalu ada cinta buat kamu, tapi saya juga ingin hidup bahagia, merasakan cinta yang nyata. Tiga tahun lalu, ada seorang lelaki yang mencintai saya dengan sepenuh hati, meminta saya menikahinya. Dia nyata, ada di depan saya, cintanya untuk saya nyata, bukan cuma harapan dan bayang-bayang. Saya memutuskan untuk menikah dengannya dan belajar mencintainya. Sekarang saya sudah bahagia sama keluarga saya, Rash. Kami punya seorang anak lelaki yang lucu, baru berusia dua tahun, sangat menggemaskan. Namanya Arash.”
Dia berdiri dan beranjak pergi, meninggalkan aku yang masih terpukul dengan kenyataan ini. Bukan akhir seperti ini yang aku harapkan. Cintanya memang tidak berubah. Dia memberi nama anaknya Arash, sama seperti namaku. Karena dia ingin selamanya memiliki Arash. Aku tahu itu. Tapi waktu selalu membawa perubahan seiring dengan perjalanannya, seperti yang dia katakan. Waktu memang tidak merubah cintanya, tapi waktu merubah keadaan. Waktu merubah cerita. Dia sudah jauh melangkah bersama waktu. Sementara aku, masih tetap disini, tak pernah mau beranjak bersama waktu.
«««


[1] Apa kabar?
[2] Ganteng, biasa untuk menyebut anak laki-laki
[3] Baik
[4] Iya/benar
[5] Ini Om sama Sofwan juga sudah kangen
[6] Iya, Bi
[7] Salam buat Om sama Sofwan
[8] Sarapan dulu sebelum disiksa. Kamu jurusan apa?


*Sebuah cerpen yang terinspirasi dari lagu Arash yang berjudul Masih Disini ciptaan Aang Muhammad Irfan


1 comment:

Music Video of The Week