“Aku bosan hidup kayak
gini terus,” ujarnya kesal seraya menghempaskan tubuhnya di atas tanah, tepat
di sebelahku.
“Terus... kamu maunya
hidup kayak gimana? Jadi anak orang kaya? Kamu mau jadi anak orang kaya tapi
hasil korupsi?” tanyaku sarkatis. Itu yang selalu dia katakan, ingin jadi anak
orang kaya, hidup enak. Ah, aku bosan mendengar keluh kesah yang sama setiap
hari.
“Setidaknya itu lebih
baik. Jadi anak orang kaya nggak perlu capek-capek ngamen.”
“Kamu tuh nggak pernah
bersyukur, ngeluh aja kerjaannya.”
“Apa yang harus aku
syukuri? Bersyukur karena aku dilahirkan melarat? Bersyukur punya ibu yang
pergi ninggalin anaknya buat jadi pelacur? Bersyukur punya bapak pemabuk dan
tukang judi? Coba bilang sama aku, apa yang mesti aku syukuri?” tanyanya
setengah berteriak.
“Dari bayi aku dikasih
makan pakai uang haram. Apa bedanya sama duit korupsi? Sama-sama haram!
Bedanya, aku makan uang haram tapi tetap hidup melarat, sedangkan mereka hidup
enak,” lanjutnya dengan nafas tersengal menahan emosi.
Aku hanya bisa terdiam,
tidak tahu harus menyalahkan atau membenarkan ucapannya.
“Apa bapakku tahu
gimana rasanya ngamen? Yang dia tahu cuma merampas duit hasil ngamenku buat
mabuk dan judi. Aku yang capek, dia yang enak-enakan!” ujarnya kesal.
Beberapa anak
bergerombol di pinggir jalan. Panas terik matahari tak mereka rasakan. Dengan
penuh harap mereka memandang jalanan, menunggu lampu hijau itu berubah menjadi
merah. Begitu hijau berganti merah, mereka bergegas menghampiri kendaraan yang
berhenti, bernyanyi ala kadarnya, mengharap recehan mampir ke kantong mereka.
Kami berdua adalah bagian dari mereka, para pengamen jalanan.
Beginilah hidup kami
setiap hari, menyusuri jalanan untuk sekedar meminta belas kasihan, demi
bertahan hidup. Hanya langit yang setia menemani kemanapun kami melangkah.
Langit yang menjadi saksi perjuangan hidup kami. Bahkan terkadang langitlah
yang menaungi tidur kami, menjadi atap bagi kami. Anak kolong langit. Mungkin
sebutan itu benar adanya. Kamilah anak kolong langit itu.
Saat lampu menyala
hijau kami kembali menepi. Sekali lagi aku memperhatikannya, dia nampak sangat
murung hari ini. Aku mengajaknya berteduh di bawah kolong jembatan, sedikit
beristirahat setelah mengamen dari pagi tadi.
“Aku ngerasa namaku
nggak cocok buat aku,” ujarnya tiba-tiba. Aku tidak mengerti apa maksudnya,
maka aku hanya diam mendengarkan.
“Pelangi itu indah
penuh warna dan bersinar. Sementara aku? Hidupku cuma satu warna, kelabu, dan
sinarku hanya buram.”
“Lalu... menurutmu...
apa namaku cocok untukku?” tanyaku ingin tahu pendapatnya.
“Entahlah. Sepertinya
kamu cocok dengan nama itu. Kamu selalu bisa menenangkan. Berada di dekatmu,
curhat sama kamu, selalu membuatku nyaman. Sama seperti memandang langit sore
yang berwarna jingga, rasanya nyaman dan tenang. Yaaa... kamu Senja yang
menenangkan,” dia tersenyum. Senyum pertamanya hari ini.
“Kamu tahu, senyummu
itulah pelangi. Kalau kamu tersenyum, baru kelihatan indahnya, baru memancarkan
sinar warna warni. Karena selama ini kamu jarang tersenyum, lebih sering
marah-marah dan cemberut, makanya wajahmu jadi jelek, nggak sebagus namamu,
hahaha...” dia mencubit lenganku dengan kesal, aku hanya meringis kesakitan.
“Kenapa kamu murung
seharian? Bapakmu lagi?” tanyaku hati-hati.
“Iya. Semalam dia
memukulku karena aku nggak ngasih duit. Pulang mabuk, kalah judi, aku yang jadi
sasaran. Aku capek, Ja, capek hidup kayak gini terus,” bulir air bening jatuh
dari sudut matanya.
Aku benci pria itu.
Pria yang disebut bapak oleh Pelangi, pria yang setiap hari memukulinya. Apakah
begitu seharusnya seorang bapak? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu
bagaimana rasanya punya bapak karena aku yatim sejak lahir.
“Kenapa aku harus
dilahirkan kayak gini? Kenapa aku harus punya bapak kayak dia?” ratapnya di
sela isak tangis. Aku memeluknya, berusaha menenangkannya.
***
“Senja!” teriak
seseorang memanggilku. Aku hafal suara itu. Tanpa menoleh pun aku tahu Pelangi
yang memanggilku. Kuhentikan langkah untuk menunggunya.
“Syukurlah kamu nggak
apa-apa,” ujar Pelangi di sela-sela nafasnya yang memburu.
“Emang kenapa?” tanyaku
heran.
“Tadi di perempatan
dekat kolong jembatan ada penertiban. Banyak anak-anak yang ngamen disana
ketangkap. Untung tadi aku nggak lagi ngamen,” dia masih berusaha mengatur
kembali nafasnya.
Penertiban. Satu kata
yang kami benci. Sekelompok orang-orang
berseragam yang dengan pongahnya menangkap kami atas nama ketertiban. Kami,
anak-anak kolong langit dan orang-orang pinggiran, hanya dianggap borok,
penyakit yang harus disingkirkan. Apa mereka tidak tahu kalau jalanan adalah
tempat kami mencari makan? Kalau boleh memilih, kami juga tidak mau hidup
seperti ini. Apa mereka perduli dengan nasib kami? Kami dilarang berkeliaran di
jalanan, lalu darimana kami mencari uang untuk sekedar menyambung hidup? Hidup
yang walaupun sengsara tapi tetap kami syukuri.
Kami berjalan menyusuri
sungai penuh sampah dengan bau busuk yang menusuk menuju deretan rumah kardus.
Disanalah kami tinggal. Jangan tanyakan bagaimana rasanya tinggal disana. Kami
pun tak akan mau kalau bukan karena terpaksa. Lihatlah orang-orang seperti
kami, yang menganggap makan sehari tiga kali adalah suatu kemewahan. Sedangkan
mereka yang hidup serba berkecukupan masih tidak mensyukurinya, menganggap apa
yang mereka punya masih kurang, dan yang terjadi adalah korupsi. Padahal ada
hak kami yang mereka rampas.
Kami duduk di depan
rumah kardus Pelangi dan saat itulah baru aku benar-benar memperhatikannya.
Pelipis robek dan pipi bengkak. Masih ada banyak luka di sekujur tubuhnya.
“Ya ampun, kamu kenapa,
Ngi? Bapakmu?” tanyaku panik. Dia hanya meringis memandangku.
“Semalam dia mabuk lagi
dan kalah judi. Dan selanjutnya pasti kamu bisa ngebayangin sendiri apa yang
terjadi sampai akhirnya aku bisa jadi kayak gini,” dia tersenyum getir.
Pria tua itu selalu
saja begitu. Pelangi benci orang itu, begitupun aku. Tapi apa yang bisa
dilakukan dua gadis yang baru menginjak usia remaja seperti kami?
“Sakit, Ja. Badanku
sakit semua. Aku benci orang itu,” geramnya menahan amarah.
“Pelangi…!” tiba-tiba
seseorang berteriak memanggil nama sahabatku, disusul oleh sosoknya. Seorang
pria tua kurus dengan pakaian dekil berjalan sempoyongan ke arah kami. Pelangi
memegang erat lenganku, ketakutan.
“Hei anak brengsek,
duit… mana duit?” teriaknya.
“Nggak ada, Pak.
Pelangi belum ngamen. Tadi ada penertiban jadi…”
“Aahhh banyak alasan
kamu. Sini... sini... kemarikan duitnya!” dia menyeret Pelangi dengan kasar
kemudian menamparnya.
“Anak nggak tahu diri.
Bukannya kerja malah enak-enakkan!” rambut Pelangi dijambaknya dengan keras.
Pelangi hanya meringis, dia tidak menangis. Ya, Pelangi tidak pernah mau
menangis di depan bapaknya. Aku hanya membisu, ngeri melihat semua ini. Apa
yang harus aku lakukan untuk menolong sahabatku? Tiba-tiba pria itu
mendekatiku.
“Kamu… pasti kamu yang
mengajari Pelangi malas-malasan kayak gini. Dasar anak setan!” makinya padaku.
Tak cukup disitu, dia mulai menyerangku, pukulan bertubi-tubi aku terima.
“Bapak, lepaskan dia!
Jangan pukul Senja lagi! Cukup!” Pelangi berteriak marah tapi tak
dihiraukannya. Dia tetap memukulku. Rasa sakit dan perih menjalar di seluruh
tubuhku. Tidak! Hentikan! Jangan pukul aku lagi! Hentikaaann!! Aku berteriak
dalam hati. Seketika itu aku tak lagi merasakan pukulan. Bagaimana mungkin?
Perlahan aku membuka mata. Pria tua itu kini terbaring di depanku dengan kepala
bersimpah darah. Dan di ujung sana, Pelangi dengan sorot mata penuh kebencian
memegang kayu yang juga penuh darah.
óóó
cerpen lama yang kelewat belum diposting
menarik sekali untuk dibaca
ReplyDeletejasa whatsapp blast