The Other Side of Me: Sepenggal Kisah di Kolong Langit

Saturday, October 25, 2014

Sepenggal Kisah di Kolong Langit



“Aku bosan hidup kayak gini terus,” ujarnya kesal seraya menghempaskan tubuhnya di atas tanah, tepat di sebelahku.
“Terus... kamu maunya hidup kayak gimana? Jadi anak orang kaya? Kamu mau jadi anak orang kaya tapi hasil korupsi?” tanyaku sarkatis. Itu yang selalu dia katakan, ingin jadi anak orang kaya, hidup enak. Ah, aku bosan mendengar keluh kesah yang sama setiap hari.
“Setidaknya itu lebih baik. Jadi anak orang kaya nggak perlu capek-capek ngamen.”
“Kamu tuh nggak pernah bersyukur, ngeluh aja kerjaannya.”
“Apa yang harus aku syukuri? Bersyukur karena aku dilahirkan melarat? Bersyukur punya ibu yang pergi ninggalin anaknya buat jadi pelacur? Bersyukur punya bapak pemabuk dan tukang judi? Coba bilang sama aku, apa yang mesti aku syukuri?” tanyanya setengah berteriak.
“Dari bayi aku dikasih makan pakai uang haram. Apa bedanya sama duit korupsi? Sama-sama haram! Bedanya, aku makan uang haram tapi tetap hidup melarat, sedangkan mereka hidup enak,” lanjutnya dengan nafas tersengal menahan emosi.
Aku hanya bisa terdiam, tidak tahu harus menyalahkan atau membenarkan ucapannya.
“Apa bapakku tahu gimana rasanya ngamen? Yang dia tahu cuma merampas duit hasil ngamenku buat mabuk dan judi. Aku yang capek, dia yang enak-enakan!” ujarnya kesal.
***
Beberapa anak bergerombol di pinggir jalan. Panas terik matahari tak mereka rasakan. Dengan penuh harap mereka memandang jalanan, menunggu lampu hijau itu berubah menjadi merah. Begitu hijau berganti merah, mereka bergegas menghampiri kendaraan yang berhenti, bernyanyi ala kadarnya, mengharap recehan mampir ke kantong mereka. Kami berdua adalah bagian dari mereka, para pengamen jalanan.
Beginilah hidup kami setiap hari, menyusuri jalanan untuk sekedar meminta belas kasihan, demi bertahan hidup. Hanya langit yang setia menemani kemanapun kami melangkah. Langit yang menjadi saksi perjuangan hidup kami. Bahkan terkadang langitlah yang menaungi tidur kami, menjadi atap bagi kami. Anak kolong langit. Mungkin sebutan itu benar adanya. Kamilah anak kolong langit itu.
Saat lampu menyala hijau kami kembali menepi. Sekali lagi aku memperhatikannya, dia nampak sangat murung hari ini. Aku mengajaknya berteduh di bawah kolong jembatan, sedikit beristirahat setelah mengamen dari pagi tadi.
“Aku ngerasa namaku nggak cocok buat aku,” ujarnya tiba-tiba. Aku tidak mengerti apa maksudnya, maka aku hanya diam mendengarkan.
“Pelangi itu indah penuh warna dan bersinar. Sementara aku? Hidupku cuma satu warna, kelabu, dan sinarku hanya buram.”
“Lalu... menurutmu... apa namaku cocok untukku?” tanyaku ingin tahu pendapatnya.
“Entahlah. Sepertinya kamu cocok dengan nama itu. Kamu selalu bisa menenangkan. Berada di dekatmu, curhat sama kamu, selalu membuatku nyaman. Sama seperti memandang langit sore yang berwarna jingga, rasanya nyaman dan tenang. Yaaa... kamu Senja yang menenangkan,” dia tersenyum. Senyum pertamanya hari ini.
“Kamu tahu, senyummu itulah pelangi. Kalau kamu tersenyum, baru kelihatan indahnya, baru memancarkan sinar warna warni. Karena selama ini kamu jarang tersenyum, lebih sering marah-marah dan cemberut, makanya wajahmu jadi jelek, nggak sebagus namamu, hahaha...” dia mencubit lenganku dengan kesal, aku hanya meringis kesakitan.
“Kenapa kamu murung seharian? Bapakmu lagi?” tanyaku hati-hati.
“Iya. Semalam dia memukulku karena aku nggak ngasih duit. Pulang mabuk, kalah judi, aku yang jadi sasaran. Aku capek, Ja, capek hidup kayak gini terus,” bulir air bening jatuh dari sudut matanya.
Aku benci pria itu. Pria yang disebut bapak oleh Pelangi, pria yang setiap hari memukulinya. Apakah begitu seharusnya seorang bapak? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya punya bapak karena aku yatim sejak lahir.
“Kenapa aku harus dilahirkan kayak gini? Kenapa aku harus punya bapak kayak dia?” ratapnya di sela isak tangis. Aku memeluknya, berusaha menenangkannya.
***
“Senja!” teriak seseorang memanggilku. Aku hafal suara itu. Tanpa menoleh pun aku tahu Pelangi yang memanggilku. Kuhentikan langkah untuk menunggunya.
“Syukurlah kamu nggak apa-apa,” ujar Pelangi di sela-sela nafasnya yang memburu.
“Emang kenapa?” tanyaku heran.
“Tadi di perempatan dekat kolong jembatan ada penertiban. Banyak anak-anak yang ngamen disana ketangkap. Untung tadi aku nggak lagi ngamen,” dia masih berusaha mengatur kembali nafasnya.
Penertiban. Satu kata yang  kami benci. Sekelompok orang-orang berseragam yang dengan pongahnya menangkap kami atas nama ketertiban. Kami, anak-anak kolong langit dan orang-orang pinggiran, hanya dianggap borok, penyakit yang harus disingkirkan. Apa mereka tidak tahu kalau jalanan adalah tempat kami mencari makan? Kalau boleh memilih, kami juga tidak mau hidup seperti ini. Apa mereka perduli dengan nasib kami? Kami dilarang berkeliaran di jalanan, lalu darimana kami mencari uang untuk sekedar menyambung hidup? Hidup yang walaupun sengsara tapi tetap kami syukuri.
Kami berjalan menyusuri sungai penuh sampah dengan bau busuk yang menusuk menuju deretan rumah kardus. Disanalah kami tinggal. Jangan tanyakan bagaimana rasanya tinggal disana. Kami pun tak akan mau kalau bukan karena terpaksa. Lihatlah orang-orang seperti kami, yang menganggap makan sehari tiga kali adalah suatu kemewahan. Sedangkan mereka yang hidup serba berkecukupan masih tidak mensyukurinya, menganggap apa yang mereka punya masih kurang, dan yang terjadi adalah korupsi. Padahal ada hak kami yang mereka rampas.
Kami duduk di depan rumah kardus Pelangi dan saat itulah baru aku benar-benar memperhatikannya. Pelipis robek dan pipi bengkak. Masih ada banyak luka di sekujur tubuhnya.
“Ya ampun, kamu kenapa, Ngi? Bapakmu?” tanyaku panik. Dia hanya meringis memandangku.
“Semalam dia mabuk lagi dan kalah judi. Dan selanjutnya pasti kamu bisa ngebayangin sendiri apa yang terjadi sampai akhirnya aku bisa jadi kayak gini,” dia tersenyum getir.
Pria tua itu selalu saja begitu. Pelangi benci orang itu, begitupun aku. Tapi apa yang bisa dilakukan dua gadis yang baru menginjak usia remaja seperti kami?
“Sakit, Ja. Badanku sakit semua. Aku benci orang itu,” geramnya menahan amarah.
“Pelangi…!” tiba-tiba seseorang berteriak memanggil nama sahabatku, disusul oleh sosoknya. Seorang pria tua kurus dengan pakaian dekil berjalan sempoyongan ke arah kami. Pelangi memegang erat lenganku, ketakutan.
“Hei anak brengsek, duit… mana duit?” teriaknya.
“Nggak ada, Pak. Pelangi belum ngamen. Tadi ada penertiban jadi…”
“Aahhh banyak alasan kamu. Sini... sini... kemarikan duitnya!” dia menyeret Pelangi dengan kasar kemudian menamparnya.
“Anak nggak tahu diri. Bukannya kerja malah enak-enakkan!” rambut Pelangi dijambaknya dengan keras. Pelangi hanya meringis, dia tidak menangis. Ya, Pelangi tidak pernah mau menangis di depan bapaknya. Aku hanya membisu, ngeri melihat semua ini. Apa yang harus aku lakukan untuk menolong sahabatku? Tiba-tiba pria itu mendekatiku.
“Kamu… pasti kamu yang mengajari Pelangi malas-malasan kayak gini. Dasar anak setan!” makinya padaku. Tak cukup disitu, dia mulai menyerangku, pukulan bertubi-tubi aku terima.
“Bapak, lepaskan dia! Jangan pukul Senja lagi! Cukup!” Pelangi berteriak marah tapi tak dihiraukannya. Dia tetap memukulku. Rasa sakit dan perih menjalar di seluruh tubuhku. Tidak! Hentikan! Jangan pukul aku lagi! Hentikaaann!! Aku berteriak dalam hati. Seketika itu aku tak lagi merasakan pukulan. Bagaimana mungkin? Perlahan aku membuka mata. Pria tua itu kini terbaring di depanku dengan kepala bersimpah darah. Dan di ujung sana, Pelangi dengan sorot mata penuh kebencian memegang kayu yang juga penuh darah.
óóó

cerpen lama yang kelewat belum diposting

1 comment:

Music Video of The Week