Diambilnya ponsel di saku celananya. Dengan tangan gemetar, Arlan mencoba menekan serangkaian angka yang masih sangat diingatnya. Dia menunggu panggilannya tersambung dengan perasaan cemas. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya,
“Hallo…” sapa suara
di seberang. Arlan masih membisu, mencoba mengumpulkan suaranya.
“Luna, ini aku…”
Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Luna merasa seluruh
tubuhnya lemas begitu mendengar jawaban itu. Suara itu… Luna sangat mengenal
suara itu. Dia tidak mungkin salah.
“Ar… lan…?”
“Iya, ini aku, Arlan.”
“Kamu… masih hidup?”
“Sayangnya begitu.”
“Aku… aku… maafkan
aku,” ujar Luna lirih. Dia tak kuasa menahan air matanya. Semua rasa kini
berkecamuk di dadanya. Perasaan bersalah karena sudah mencoba membunuh Arlan, perasaan
lega dan bahagia karena ternyata Arlan masih hidup, rasa rindunya pada Arlan,
rasa cintanya yang sampai sekarang masih tertanam kuat, dan entah rasa apalagi
yang Luna rasakan sekarang.
“Aku yang harusnya
minta maaf, Na. Mungkin di matamu aku ini makhluk paling menjijikkan. Tapi, Na,
itulah aku. Sama seperti kamu yang mencintai Baruna dan aku, aku juga mencintai
kalian berdua. Begitu pun Baruna. Kisah kita terlalu rumit. Aku menghubungimu
untuk meminta maaf. Aku juga ingin melupakan semua masa lalu yang rumit dan
menyakitkan itu. Aku tidak marah sama kamu karena berusaha membunuhku. Aku memang
salah, Na, aku layak mendapatkan hukuman itu,” ujar Arlan penuh keyakinan.
“Aku memutuskan
Baruna,” lirih Luna berucap.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Bagaimana kamu bisa
tahu?”
“Baruna yang
memberitahuku. Dia baru saja datang mencariku.”
“Jadi… Baruna tahu
kamu masih hidup?”
“Begitulah.”
“Apa kamu tahu
alasanku meninggalkan Baruna? Apa kamu tahu?” Luna berusaha menahan emosi yang
seakan ingin meledak dalam dadanya. Hening. Tak ada jawaban dari Arlan.
“Aku sadar kalau
ternyata Baruna bukanlah orang yang aku butuhkan. Yang aku rasakan pada Baruna
bukan cinta, tapi memuja. Aku sangat memuja Baruna, dan kamu tahu itu. Aku yakin
kamu tahu. Satu-satunya orang yang aku butuhkan adalah kamu. Dari dulu sampai
sekarang. Aku mencintaimu, Lan! Kalau masih bisa memilih, aku akan memilih kamu
jadi satu-satunya lelaki dalam hidupku, bukan Baruna. Tapi pilihan itu sudah
tidak ada. Sama seperti kamu, aku juga sudah memutuskan untuk melupakan
semuanya dan memulai babak baru dalam hidupku. Tanpa Baruna dan kamu!” ujar
Luna.
“Berjanjilah… kamu
mau kan berjanji padaku? Janji kamu akan melakukan semua yang kamu ucapkan
tadi. Melupakan aku, Baruna, dan masa lalu kita. Janji, apa pun yang terjadi
kamu tidak akan berusaha kembali ke masa lalu itu,” Luna melanjutkan.
“Aku janji, Na.”
“Aku yakin, kita akan
lebih bahagia setelah ini. Aku akan kangen banget sama kamu, Lan. Pasti. Andai saja
kita bertiga masih menjadi sahabat tanpa ada ikatan lain, seperti dulu. Apa bisa
kita kembali ke masa itu? Sewaktu persahabatan itu masih polos dan suci, belum
ternoda oleh cinta dan pengkhianatan. Aku ingin melupakan masa lalu kita, tapi
bukan persahabatan itu.” Luna mencoba menyeka bulir-bulir air mata yang seperti
tak ada habisnya.
“Na, masih bisakah
kita bertemu lagi, sebagai sahabat?” tanya Arlan hati-hati.
“Tentu saja.”
“Mampirlah ke
tempatku, kalau kamu ada trip ke Bali.”
“Kamu tinggal di
Bali?” tanya Luna penasaran.
“Iya. Sejak kejadian
itu, aku berusaha mencari tempat yang bisa membuat hidupku lebih tenang,
mencoba memperbaiki diri dan berserah pada Sang Hyang Widhi Wasa.”
“Kamu…”
“Ya. Aku seorang
Hindu sekarang,” jawab Arlan dengan senyum mengembang di wajahnya.
“Sepertinya kamu
benar-benar bahagia sekarang. Aku pasti akan mencarimu kalau ke Bali.”
“Baiklah. Sepertinya aku
harus pamit sekarang. Masih ada upacara yang harus aku ikuti. Bye Luna…” pamit
Arlan.
“Bye…”
Arlan menghela nafas
lega. Setidaknya hubungannya dengan Luna tidak berakhir buruk. Luna dan dia
bahkan memiliki tujuan yang sama, melupakan kenangan buruk masa lalu mereka dan
memulai lembaran baru kehidupan mereka, dengan cara yang berbeda. Dengan langkah
mantap Arlan memasuki Pura Besakih yang sudah penuh dengan orang-orang yang
akan mengikuti upacara sembahyang.
“Aku akan melupakan
semua memori itu. Memori tentang kita, memori tentangmu, tapi akan tetap
mengingat memori persahabatan kita,” ucap Arlan dalam hati.
No comments:
Post a Comment