The Other Side of Me: Memori Tentangmu

Sunday, November 25, 2012

Memori Tentangmu



            Arlan meninggalkan Baruna dengan perasaan kacau. Entah apa yang diinginkannya saat ini. Dia ingin melupakan Baruna, Luna, dan semua masa lalu itu, tapi di sisi lain dia tidak sanggup. Begitu melihat sosok Baruna sekali lagi, semua keinginan yang sudah mantap di dalam jiwanya itu perlahan goyah. Dia masih menginginkan Baruna, dan sekarang dia begitu rindu pada Luna.
            Diambilnya ponsel di saku celananya. Dengan tangan gemetar, Arlan mencoba menekan serangkaian angka yang masih sangat diingatnya. Dia menunggu panggilannya tersambung dengan perasaan cemas. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya,



“Hallo…” sapa suara di seberang. Arlan masih membisu, mencoba mengumpulkan suaranya.
“Luna, ini aku…” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Luna merasa seluruh tubuhnya lemas begitu mendengar jawaban itu. Suara itu… Luna sangat mengenal suara itu. Dia tidak mungkin salah.
            “Ar… lan…?”
“Iya, ini aku, Arlan.”
“Kamu… masih hidup?”
“Sayangnya begitu.”
“Aku… aku… maafkan aku,” ujar Luna lirih. Dia tak kuasa menahan air matanya. Semua rasa kini berkecamuk di dadanya. Perasaan bersalah karena sudah mencoba membunuh Arlan, perasaan lega dan bahagia karena ternyata Arlan masih hidup, rasa rindunya pada Arlan, rasa cintanya yang sampai sekarang masih tertanam kuat, dan entah rasa apalagi yang Luna rasakan sekarang.
“Aku yang harusnya minta maaf, Na. Mungkin di matamu aku ini makhluk paling menjijikkan. Tapi, Na, itulah aku. Sama seperti kamu yang mencintai Baruna dan aku, aku juga mencintai kalian berdua. Begitu pun Baruna. Kisah kita terlalu rumit. Aku menghubungimu untuk meminta maaf. Aku juga ingin melupakan semua masa lalu yang rumit dan menyakitkan itu. Aku tidak marah sama kamu karena berusaha membunuhku. Aku memang salah, Na, aku layak mendapatkan hukuman itu,” ujar Arlan penuh keyakinan.
“Aku memutuskan Baruna,” lirih Luna berucap.
“Ya, aku sudah tahu.”
“Bagaimana kamu bisa tahu?”
“Baruna yang memberitahuku. Dia baru saja datang mencariku.”
“Jadi… Baruna tahu kamu masih hidup?”
“Begitulah.”
“Apa kamu tahu alasanku meninggalkan Baruna? Apa kamu tahu?” Luna berusaha menahan emosi yang seakan ingin meledak dalam dadanya. Hening. Tak ada jawaban dari Arlan.
“Aku sadar kalau ternyata Baruna bukanlah orang yang aku butuhkan. Yang aku rasakan pada Baruna bukan cinta, tapi memuja. Aku sangat memuja Baruna, dan kamu tahu itu. Aku yakin kamu tahu. Satu-satunya orang yang aku butuhkan adalah kamu. Dari dulu sampai sekarang. Aku mencintaimu, Lan! Kalau masih bisa memilih, aku akan memilih kamu jadi satu-satunya lelaki dalam hidupku, bukan Baruna. Tapi pilihan itu sudah tidak ada. Sama seperti kamu, aku juga sudah memutuskan untuk melupakan semuanya dan memulai babak baru dalam hidupku. Tanpa Baruna dan kamu!” ujar Luna.
“Berjanjilah… kamu mau kan berjanji padaku? Janji kamu akan melakukan semua yang kamu ucapkan tadi. Melupakan aku, Baruna, dan masa lalu kita. Janji, apa pun yang terjadi kamu tidak akan berusaha kembali ke masa lalu itu,” Luna melanjutkan.
“Aku janji, Na.”
“Aku yakin, kita akan lebih bahagia setelah ini. Aku akan kangen banget sama kamu, Lan. Pasti. Andai saja kita bertiga masih menjadi sahabat tanpa ada ikatan lain, seperti dulu. Apa bisa kita kembali ke masa itu? Sewaktu persahabatan itu masih polos dan suci, belum ternoda oleh cinta dan pengkhianatan. Aku ingin melupakan masa lalu kita, tapi bukan persahabatan itu.” Luna mencoba menyeka bulir-bulir air mata yang seperti tak ada habisnya.
“Na, masih bisakah kita bertemu lagi, sebagai sahabat?” tanya Arlan hati-hati.
“Tentu saja.”
“Mampirlah ke tempatku, kalau kamu ada trip ke Bali.”
“Kamu tinggal di Bali?” tanya Luna penasaran.
“Iya. Sejak kejadian itu, aku berusaha mencari tempat yang bisa membuat hidupku lebih tenang, mencoba memperbaiki diri dan berserah pada Sang Hyang Widhi Wasa.”
“Kamu…”
“Ya. Aku seorang Hindu sekarang,” jawab Arlan dengan senyum mengembang di wajahnya.
“Sepertinya kamu benar-benar bahagia sekarang. Aku pasti akan mencarimu kalau ke Bali.”
“Baiklah. Sepertinya aku harus pamit sekarang. Masih ada upacara yang harus aku ikuti. Bye Luna…” pamit Arlan.
“Bye…”
Arlan menghela nafas lega. Setidaknya hubungannya dengan Luna tidak berakhir buruk. Luna dan dia bahkan memiliki tujuan yang sama, melupakan kenangan buruk masa lalu mereka dan memulai lembaran baru kehidupan mereka, dengan cara yang berbeda. Dengan langkah mantap Arlan memasuki Pura Besakih yang sudah penuh dengan orang-orang yang akan mengikuti upacara sembahyang.
“Aku akan melupakan semua memori itu. Memori tentang kita, memori tentangmu, tapi akan tetap mengingat memori persahabatan kita,” ucap Arlan dalam hati.

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week