The Other Side of Me: Aku Tak Mengerti

Sunday, November 25, 2012

Aku Tak Mengerti



Next trip Museum Kota Makassar, Lan, dan aku sendiri. Kita ketemu di sana, ya? Jam 12.00 aku mendarat. Miss u. Luna.*kecup*

Aku tekan sent dan langsung mematikan ponselku. Senyum tipis tak henti menghiasai wajahku. Aku akan bertemu dengan Arlan lagi, setelah pertemuan kami di Bali beberapa bulan yang lalu. Aku senang karena Arlan baik-baik saja. Hubungan kami sekarang kembali seperti dulu, sahabat, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih dari itu. Itu janji kami. Aku tahu, tidak mudah mengembalikan perasaan cinta itu menjadi sahabat lagi. Namun, aku percaya, tidak ada yang tidak mungkin. Kalau rasa cinta saja bisa berubah menjadi benci, pasti tidak terlalu sulit menjadikan cinta itu tak lebih dari rasa sayang. Menyakitkan? Mungkin. Tapi rasa sakit sesaat itu akan berbuah rasa tenang dan bahagia sepanjang hidup kami kalau kami bisa melaluinya.
Sebaliknya, hubunganku dengan Baruna tidak sebaik hubunganku dengan Arlan. Sejak aku memutuskannya di Surabaya waktu itu, Baruna seakan menghilang. Bahkan dia tidak memberitahuku tentang keberadaan Arlan, padahal dia tahu Arlan masih hidup. Arlan bilang, Baruna beberapa kali menghubunginya, dan memintanya untuk kembali pada Baruna. Sakit sekali mendengarnya. Baruna lebih memilih mengejar Arlan daripada aku. Apakah hubungan kami selama ini hanya kedok saja? Apakah dia benar-benar seorang gay? Apakah dia menjadi pacarku hanya untuk menutup-nutupii ketidaknormalannya itu? Baruna, ternyata aku sama sekali tidak mengenalnya. Baruna yang selama ini aku kenal ternyata tidak nyata. Entah siapa dia.
****
           
Aku sudah berada di dalam taksi menyusuri jalanan Kota Makassar menuju ke Museum Kota Makassar, tempat aku akan bertemu dengan Arlan ketika aku teringat belum menghidupkan ponselku. Ada beberapa pesan dan pemberitahuan yang masuk, tetapi tidak ada balasan pesan dari Arlan.
"Arlan datang tidak, ya? Kok dia tidak membalas SMS-ku?" aku bertanya-tanya dalam hati dengan cemas. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba muncul, tapi coba kutepis.
Di depanku kini berdiri sebuah bangunan tua bergaya eropa abad ke-17. Meskipun sudah tua, tapi bangunan dengan jendela-jendela kayu yang lebar ini masih terlihat kokoh. Sebuah meriam berwarna kecoklatan menyambut kedatanganku di depan museum.
"Selamat datang di Makassar, Luna. Apa kabar?"
Tidak mungkin! Itu bukan suara Arlan. Itu... Baruna? Aku membalikkan badan untuk memastikan kebenaran pendengaranku.
"Kamu? Gimana bisa ada di sini, Bar?" tanyaku kaget.
"Bukannya kamu yang mengirim pesan untuk bertemu di sini?" dia balik bertanya dengan senyum di wajahnya. Entah mengapa senyum itu nampak ganjil. Bukan senyum penuh kehangatan seperti yang selama ini aku lihat. Tapi... Senyum licik?
"Tidak mungkin!" jawabku cepat. Tanganku bergegas mencari ponsel dan menelusuri folder sent items. Baruna. Di sana tertulis nama Baruna, bukan Arlan. Ya Tuhan, aku salah mengirim pesan yang seharusnya untuk Arlan itu kepada Baruna!
"Jadi, Arlan juga ada di Makassar?" tanyanya.
"Mungkin," jawabku pelan dan tak bersemangat.
"Jadi, kamu kembali pada Arlan? Kalian bersama lagi?" tanyanya penuh selidik.
"Tidak! Bukan seperti itu. Aku dan Arlan memang masih berhubungan baik, tapi hanya sebatas sahabat lama."
"Memangnya hubungan kalian dulu tidak berkedok sahabat?" tanyanya dengan nada sinis.
"Aku memang selingkuh sama Arlan di belakangmu, tapi kamu juga selingkuh dengannya, kan? Setidaknya aku pacaran sama kamu bukan cuma sebagai kedok untuk menutupi suatu rahasia dalam diriku,” jawabku sedikit emosi.
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu, Bar, tahu. Selama ini kamu tidak pernah cinta sama aku, kan? Dari awal kamu cuma cinta sama Arlan. Tapi kamu takut hal itu akan merusak reputasi kamu sebagai seorang dokter ternama. Apa kata orang kalau mereka tahu bahwa ternyata dokter Baruna yang hebat itu adalah seorang gay?” Baruna mengangkat tangan kanannya, bersiap menamparku, tapi dia urungkan.
"Kenapa, Bar? Tampar saja! Ayo tampar!" aku menantangnya.
Tatapan mata Baruna membuatku takut. Mata itu penuh kilat kemarahan. Tidak. Ini bukan Baruna yang selama ini aku kenal, bukan Baruna yang aku puja.
"Please, Bar, biarkan aku menjalani kehidupanku yang sekarang dengan tenang. Aku tahu, sampai sekarang kamu masih mengejar Arlan, berharap dia mau kembali ke pelukanmu. Aku tidak akan mencampuri semua itu. Aku tidak mau berada dalam cerita itu lagi, itu cerita masa lalu buatku. Tapi aku juga minta sama kamu, hormati keputusan Arlan untuk melupakan masa lalu itu juga. Kalau kamu memang cinta sama Arlan, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri," lanjutku.
"Kamu pikir, Arlan benar-benar ingin pergi dariku? Kamu pikir, dia serius ingin melupakanku dan kisah kami? Kamu salah! Arlan masih sangat mencintaiku!" ucapnya yakin.
"Entahlah. Aku tidak bisa baca pikiran orang. Aku juga bukan Tuhan yang tahu apa isi hati seseorang. Tapi aku tahu, aku bisa percaya dengan apa yang dikatakan sahabatku," jawabku.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Baruna sekarang. Dia hanya diam, mematung. Aku berlalu meninggalkannya bersama benda-benda bersejarah itu. Ya, di belakangku sana, semuanya adalah sejarah masa lalu. Tapi, yang sampai sekarang tidak kumengerti adalah Arlan. Apa yang sebenarnya diinginkannya?

1 comment:

Music Video of The Week