Next trip Museum Kota Makassar, Lan, dan aku sendiri. Kita ketemu di sana, ya? Jam 12.00 aku mendarat. Miss u.
Luna.*kecup*
Aku
tekan sent dan langsung mematikan
ponselku. Senyum tipis tak henti menghiasai wajahku. Aku akan bertemu dengan
Arlan lagi, setelah pertemuan kami di Bali beberapa bulan yang lalu. Aku senang
karena Arlan baik-baik saja. Hubungan kami sekarang kembali seperti dulu,
sahabat, tidak lebih dan tidak akan pernah lebih dari itu. Itu janji kami. Aku tahu,
tidak mudah mengembalikan perasaan cinta itu menjadi sahabat lagi. Namun, aku
percaya, tidak ada yang tidak mungkin. Kalau rasa cinta saja bisa berubah
menjadi benci, pasti tidak terlalu sulit menjadikan cinta itu tak lebih dari
rasa sayang. Menyakitkan? Mungkin. Tapi rasa sakit sesaat itu akan berbuah rasa
tenang dan bahagia sepanjang hidup kami kalau kami bisa melaluinya.
Sebaliknya,
hubunganku dengan Baruna tidak sebaik hubunganku dengan Arlan. Sejak aku
memutuskannya di Surabaya waktu itu, Baruna seakan menghilang. Bahkan dia tidak
memberitahuku tentang keberadaan Arlan, padahal dia tahu Arlan masih hidup. Arlan
bilang, Baruna beberapa kali menghubunginya, dan memintanya untuk kembali pada
Baruna. Sakit sekali mendengarnya. Baruna lebih memilih mengejar Arlan daripada
aku. Apakah hubungan kami selama ini hanya kedok saja? Apakah dia benar-benar
seorang gay? Apakah dia menjadi
pacarku hanya untuk menutup-nutupii ketidaknormalannya itu? Baruna, ternyata aku
sama sekali tidak mengenalnya. Baruna yang selama ini aku kenal ternyata tidak
nyata. Entah siapa dia.
****
Aku sudah berada di dalam taksi menyusuri
jalanan Kota Makassar menuju ke Museum Kota Makassar, tempat aku akan bertemu
dengan Arlan ketika aku teringat belum menghidupkan ponselku. Ada beberapa pesan
dan pemberitahuan yang masuk, tetapi tidak ada balasan pesan dari Arlan.
"Arlan datang tidak, ya? Kok dia tidak membalas SMS-ku?" aku bertanya-tanya dalam hati dengan cemas. Ada perasaan
tidak enak yang tiba-tiba muncul, tapi coba kutepis.
Di depanku kini berdiri sebuah bangunan
tua bergaya eropa abad ke-17. Meskipun sudah tua, tapi bangunan dengan
jendela-jendela kayu yang lebar ini masih terlihat kokoh. Sebuah meriam
berwarna kecoklatan menyambut kedatanganku di depan museum.
"Selamat datang di Makassar, Luna.
Apa kabar?"
Tidak mungkin! Itu bukan suara Arlan.
Itu... Baruna? Aku membalikkan badan untuk memastikan kebenaran pendengaranku.
"Kamu? Gimana bisa ada di sini,
Bar?" tanyaku kaget.
"Bukannya kamu yang mengirim pesan
untuk bertemu di sini?" dia balik bertanya dengan senyum di wajahnya.
Entah mengapa senyum itu nampak ganjil. Bukan senyum penuh kehangatan seperti
yang selama ini aku lihat. Tapi... Senyum licik?
"Tidak mungkin!" jawabku cepat.
Tanganku bergegas mencari ponsel dan menelusuri folder sent items. Baruna. Di sana tertulis nama Baruna, bukan
Arlan. Ya Tuhan, aku salah mengirim pesan yang seharusnya untuk Arlan itu
kepada Baruna!
"Jadi, Arlan juga ada di
Makassar?" tanyanya.
"Mungkin," jawabku pelan dan tak
bersemangat.
"Jadi, kamu kembali pada Arlan?
Kalian bersama lagi?" tanyanya penuh selidik.
"Tidak! Bukan seperti itu. Aku dan
Arlan memang masih berhubungan baik, tapi hanya sebatas sahabat lama."
"Memangnya hubungan kalian dulu tidak
berkedok sahabat?" tanyanya dengan nada sinis.
"Aku memang selingkuh sama Arlan di
belakangmu, tapi kamu juga selingkuh dengannya, kan? Setidaknya aku pacaran
sama kamu bukan cuma sebagai kedok untuk menutupi suatu rahasia dalam diriku,”
jawabku sedikit emosi.
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu, Bar, tahu. Selama ini kamu tidak pernah cinta sama aku, kan? Dari awal kamu cuma cinta sama Arlan. Tapi
kamu takut hal itu akan merusak reputasi kamu sebagai seorang dokter ternama.
Apa kata orang kalau mereka tahu bahwa ternyata dokter Baruna yang hebat itu
adalah seorang gay?” Baruna mengangkat tangan kanannya, bersiap menamparku, tapi dia urungkan.
"Kenapa, Bar? Tampar saja! Ayo tampar!" aku menantangnya.
"Kenapa, Bar? Tampar saja! Ayo tampar!" aku menantangnya.
Tatapan mata Baruna membuatku takut. Mata
itu penuh kilat kemarahan. Tidak. Ini bukan Baruna yang selama ini aku kenal,
bukan Baruna yang aku puja.
"Please,
Bar, biarkan aku menjalani kehidupanku yang sekarang dengan tenang. Aku tahu,
sampai sekarang kamu masih mengejar Arlan, berharap dia mau kembali ke
pelukanmu. Aku tidak akan mencampuri semua itu. Aku tidak mau berada dalam
cerita itu lagi, itu cerita masa lalu buatku. Tapi aku juga minta sama kamu,
hormati keputusan Arlan untuk melupakan masa lalu itu juga. Kalau kamu memang
cinta sama Arlan, biarkan dia memilih jalan hidupnya sendiri," lanjutku.
"Kamu pikir, Arlan benar-benar ingin
pergi dariku? Kamu pikir, dia serius ingin melupakanku dan kisah kami? Kamu
salah! Arlan masih sangat mencintaiku!" ucapnya yakin.
"Entahlah. Aku tidak bisa baca
pikiran orang. Aku juga bukan Tuhan yang tahu apa isi hati seseorang. Tapi aku
tahu, aku bisa percaya dengan apa yang dikatakan sahabatku," jawabku.
Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran
Baruna sekarang. Dia hanya diam, mematung. Aku berlalu meninggalkannya bersama
benda-benda bersejarah itu. Ya, di belakangku sana, semuanya adalah sejarah
masa lalu. Tapi, yang sampai sekarang tidak kumengerti adalah Arlan. Apa yang
sebenarnya diinginkannya?
menarik sekali untuk dibaca
ReplyDeletejasa whatsapp blast