Dua minggu yang lalu…
"Selamat siang, Mbak Luna, kami ingin
mengingatkan bahwa minggu depan Anda ada perjalanan ke Raja Ampat," ujar
suara di seberang.
"Raja Ampat? Kok saya belum tahu ya, Mbak," jawabku
heran.
"Tiket pesawat, akomodasi dan travel selama di
Raja Ampat sudah di pesan satu minggu yang lalu."
"Oh, gitu. Bisa tolong di email ke saya itinerary-nya?" pintaku.
"Baik, Mbak. Nanti saya email."
"Terima kasih, Mbak," ujarku sebelum menutup
telepon.
Aku masih merasa sedikit heran dengan telepon dari
travel agent langgananku tadi. Biasanya, aku sendiri yang menentukan kemana
akan melakukan traveling dan aku yang mengurus tiket dan semuanya sendiri.
Terkadang memang Mas Akbar, editorku, yang menentukan lokasi traveling-ku dan
meminta asistennya untuk mengurus hal-hal yang diperlukan, tetapi Mas Akbar
pasti memberitahuku terlebih dahulu tentang rencana perjalananku yang sudah
disiapkannya. Mungkin dia lupa karena terlalu sibuk, batinku memutuskan.
***
Pagi ini…
"Arlan? Kok kamu bisa ada di sini?" tanyaku
heran ketika melihat Arlan naik ke boat yang sudah disiapkan untukku.
"Maksud kamu? Bukannya kamu yang menyiapkan
perjalanan ini?" Arlan balik bertanya tak kalah heran sesaat setelah boat
melaju dengan kencang membelah lautan.
"Apa?"
"Dua minggu yang lalu aku ditelepon seseorang
dari travel agent yang mengabarkan tentang perjalanan ke Raja Ampat, dan dia
bilang yang memesan atas nama Luna," ujar Arlan menjelaskan.
"Tidak! Aku juga mendapat telepon yang sama dan
aku pikir editorku yang mengatur trip ini untukku."
"Selamat datang di Raja Ampat," ujar sebuah
suara. Suara yang sangat aku kenal. Aku dan Arlan spontan menoleh ke arah
sumber suara, ke arah seseorang yang sedang mengemudikan boat kami.
"Baruna? Apa-apaan ini?" protes Arlan.
"Tenang, Man! Kita nikmati saja keindahan
pulau-pulau di sini. Lupakan semua yang sudah terjadi. Aku mengajak kalian ke
sini untuk berlibur," jawab Baruna, ditutup dengan tawa ganjilnya. Seketika perasaan tidak enak menyelimutiku. Aku
merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi, entah apa itu. Aku merasa perjalanan
ini bukan liburan semata.
***
Dooorrr!
Suara tembakan nyaring terdengar, membuatku terlonjak
mundur. Debaran jantungku seakan berkejaran, aku nyaris tak bisa bernapas. Yang
ada di pikiranku adalah siapa yang menembak dan siapa yang tertembak. Tak jauh
dari tempatku terduduk lemas, Arlan dan Baruna masih bergumul. Darah merah
pekat mengalir di antara mereka. Aku ingin melompat ke sana seketika, tetapi
kakiku lemas, aku tidak mampu berdiri.
"Arlan...! Baruna...!" teriakku cemas dengan
suara parau. Aku mencoba berdiri, menguatkan kaki dan tubuhku. Aku harus
menghentikan mereka. Salah satu dari mereka terluka. Aku harus menolongnya.
Dengan langkah gontai kudekati dua lelaki yang sudah
terkulai lemas itu. Tubuh mereka penuh dengan cairan merah kental. Kupisahkan
tubuh yang saling peluk itu.
"Ya Tuhan! Tidak... Tidak...!" ucapku lirih
dengan tangan membekap mulutku. Kugelengan kepala kuat-kuat berharap apa yang
kulihat ini tidak nyata.
"Arlan! Baruna! Bangun kalian!" teriakku.
Kucoba menggoyang-goyang tubuh mereka berdua. Air mataku deras mengalir dan aku
benar-benar sulit bernafas sekarang, melihat keadaan mereka seperti ini. Darah
mengalir deras dari luka tembak di bagian perut Arlan dan sebuah pisau
tertancap di dada kiri Baruna. Apa yang harus aku lakukan? Saat ini aku hanya
bisa menangis meratapi keadaan mereka yang mungkin sudah mati. Aku harus minta
tolong pada siapa? Ini daerah terpencil, pulau kosong entah di bagian mana Raja
Ampat. Tempat indah nan mempesona ini tiba-tiba berubah menjadi tempat paling
menakutkan.
Tidak! Aku tidak boleh diam saja atau mereka akan mati
kehabisan darah. Kuseret satu persatu tubuh mereka menuju ke pinggir pantai di
mana Baruna menambatkan boat. Darah
berceceran sepanjang jalan. Dengan sisa tenagaku, kunaikkan tubuh-tubuh tak berdaya
itu dengan susah payah ke atas boat. Aku
bersyukur pernah belajar mengemudikan boat.
Kupacu boat dengan kecepatan penuh. Mereka harus mendapatkan pertolongan atau
mereka akan mati, walaupun aku tidak yakin mereka bisa bertahan.
Berbagai kemungkinan berkelebat di benakku. Mungkin
takkan ada lagi Arlan dan Baruna. Mungkin, salah satu dari mereka masih bisa
bertahan. Mungkin, mereka berdua masih bisa diselamatkan. Dan mungkin, kami
bertiga mati tenggelam kalau aku tidak berhasil membawa boat ini.
No comments:
Post a Comment