Aku menyusuri bangunan tua di sepanjang jalan ini. Bangunan yang indah
sebetulnya. Sayang, banyak yang tidak terawat. Sesekali aku berhenti untuk
memotret. Aku tidak bisa melewatkan begitu saja apa yang ada di depan mataku. Sesuatu
yang menurutku menarik, harus diabadikan dalam gambar dan tulisan. Itulah mengapa
aku memilih untuk menjadi travel writer. Aku suka bepergian, aku suka memotret,
dan aku suka menulis. Inilah aku.
Old Town Area ini sangat menarik, menurutku. Tapi aku tidak tahan
dengan panasnya Kota Surabaya. Kota ini selalu saja panas, menyengat. Aku berhenti
lagi untuk menyeka keringat di wajahku. Dan saat memandang ke depan, aku melihatnya
disana, tersenyum.
“Halo, Sayang…” Dia memelukku erat dan mencium keningku.
Kapan terakhir kami bertemu? Dia sibuk dengan pasien-pasien dan urusan
Rumah Sakitnya, aku sibuk bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Ulang
tahunku sebulan yang lalu, ketika dia bilang akan ke Singapore tapi tiba-tiba
datang mengejutkanku di hotel tengah malam. Itulah terakhir kali kami bertemu.
Kami bergandengan tangan, menyusuri tempat ini, mengorol, tertawa. Aku
bisa melihat puncak Tugu Pahlawan dari sini, dan sekarang kami berjalan menuju
Jembatan Merah yang terkenal itu. Kota ini memang penuh dengan sejarah, tapi
sayangnya tempat-tempat yang menjadi sejarah masa lalu itu tidak mendapat
perhatian selayaknya. Padahal tempat ini bisa menjadi area wisata yang lebih
layak dan indah. Oke, aku memang terlalu terobsesi dengan alam dan sejarah. Tapi
mungkin, sejarah masa lalu kami yang indah juga sudah sebobrok ini, hancur
sedikit demi sedikit, tanpa bisa diperbaiki lagi. Itulah mengapa aku berada
disini sekarang.
Ini bukan hal yang mudah buatku, ini keputusan yang berat. Entahlah,
sampai detik ini aku masih memujanya. Tapi aku harus melakukan apa yang
harusnya kulakukan.
“…mungkin bulan depan aku bisa ambil cuti dan kita bisa…”
“Bar, aku mau kita putus,” aku memotongnya sebelum aku kehilangan
tekad dan ini akan menjadi lebih sulit lagi.
“…berlibur ke… apa?” tanyanya kaget.
Aku diam sejenak, menatap matanya dan mengumpulkan seluruh
keberanianku.
“Kita putus.”
“Hahaha…kamu bercanda, kan?”
“Aku serius, Bar, serius. Terlalu banyak kebohongan dan drama yang
menyakitkan selama ini, diantara kita bertiga. Aku memujamu, tergila-gila
padamu, tentu saja, bahkan sampai sekarang.”
“Terus, kenapa kita harus putus?” tanyanya.
“Karena aku pikir aku mencintaimu. Tapi ternyata tidak, Bar,” aku
mulai terisak. “Aku mencintai Arlan.”
“Apa?”
“…”
“Omong kosong apa ini, Na?”
“Aku mencintainya, dan aku selingkuh dengannya, sama seperti kamu
selingkuh dengannya di belakangku. Ini terlalu rumit.”
Aku berlari meninggalkannya, menangis tanpa henti. Aku sudah
kehilangan Arlan. Dan sekarang aku kehilangan Baruna. Tidak apa-apa. Ini akan
berakhir dengan baik.
Aku memanggil taksi dan kembali ke hotel. Aku berusaha menenangkan
diri dan menghentikan air mata yang masih saja mengalir.
Treeett…treeett..
Kuraih telepon genggamku dari dalam tas. Ada satu pesan tertera di
layar.
Aku kembali. Jadi, kapan kita
ketemu lagi?
No comments:
Post a Comment