Cerita kedua puluh tiga
Kembali Luna membaca ulang tulisan di selembar kertas yang baru saja
diselesaikannya. Dia menarik nafas, dalam dan panjang. Mengapa hidupnya jadi
serumit ini?
Dia merasa sangat sepi. Suara gemuruh air terjun Grojogan Sewu di
depannya ini pun tak bisa menghilangkan sepi yang dia rasakan. Sepertinya enak
menjadi air terjun itu. Mengalir saja mengikuti arus, tanpa harus berpikir
untuk melawan arus. Tapi bukankah membosankan jika hidup hanya mengalir
mengikuti arus? Tak ada tantangan yang bisa ditaklukkan. Sangat berrtolak
belakang dengan sifatnya yang sangat menyukai tantangan, bahkan terkesan
mencari-cari tantangan itu.
Luna mengambil kameranya, mengambil gambar sekelompok remaja yang
sedang berenang di bawah air terjun. Mereka sangat riang, seperti tak ada
beban. Sewaktu seumuran mereka, hidupnya juga begitu. Dia punya keluarga yang
lengkap dan menyayanginya, walau pun mereka jarang di rumah. Dia punya Arlan
yang setia menemaninya. Semuanya terasa sempurna. Sebelum Baruna kembali.
Perlahan, semua menjadi rumit dan di luar kendali. Baruna pulang. Luna
jatuh cinta pada sahabat lamanya itu, tanpa menyadari perasaannya pada Arlan. Dan
setelah dia sadar, semua sudah terlambat. Dia mencintai mereka berdua,
sahabatnya. Baruna, sosok lelaki sempurna yang dengan mudah dapat memikat hati
perempuan manapun, termasuk Luna. Dia tergila-gila pada Baruna. Arlan, sosok
lelaki yang sangat dibutuhkannya. Hidupnya tak akan lengkap tanpa Arlan.
Pagi itu, di hari dia membunuh Arlan, yang ada di hatinya hanya
kekecewaan. Dua lelaki yang dicintainya ternyata…
Luna kecewa pada Arlan yang telah mengkhianatinya. Apa tidak cukup
untuknya saja cinta Arlan? Apa selama ini Arlan hanya berpura-pura saja, tidak
benar-benar mencintainya? Pagi itu, dia lebih memilih menghabisi Arlan dan
bukan Baruna, karena Arlan yang lebih membuatnya sakit. Dan dia tidak mungkin
bisa menyakiti Baruna yang sangat dipujanya. Tidak sedikit pun.
Tapi sekarang baru dia sadar, keputusan itu salah. Dia menyesal
membunuh Arlan. Baru sekarang Luna merasakan sepi yang benar-benar sepi, tanpa
Arlan. Memang masih ada Baruna, tapi tidak akan sama. Arlan tidak bisa
digantikan oleh siapa pun, bahkan Baruna sekali pun. Luna mencintai Arlan dan
memuja Baruna. Sekarang Luna baru bisa melihatnya.
Sebenarnya hidup tidak akan jadi serumit ini jika Luna bisa membaca
hatinya lebih jelas. Tapi semua sudah terjadi, sudah melewati genggaman
tangannya. Semua keputusan ada di genggamannya, bukan? Dan keputusan demi
keputusan telah dia buat. Dia tidak ingin mengulangi lagi keputusan-keputusan
yang salah yang lahir dari tangannya. Dia ingin mengakhiri ini. Mengakhiri genggaman
tangan mereka bertiga. Arlan sudah tidak ada. Tapi Baruna masih ada. Luna tidak
mungkin membunuh Baruna seperti dia membunuh Arlan. Mungkin, dia akan
memutuskan Baruna…
“Ya, sepertinya itu pilihan yang lebih baik. Aku tidak ingin lagi
mengingat kekacauan hidupku beberapa tahun ini. Aku ingin melepaskan
genggamanku dari bayang-bayang masa lalu, dari mereka,” bisik hati Luna. Diambilnya
telepon genggam dan memanggil kontak yang sudah ribuan kali dihubunginya.
“Halo, kamu dimana?” tanyanya begitu terdengar jawaban dari seberang.
“Aku di Surabaya,” jawab suara itu.
Bergegas dia membereskan barang-barangnya, melangkah mantap meninggalkan lereng Gunung Lawu untuk melanjutkan kisah hidupnya.
fotonya bagus sekali kak
ReplyDeletekokato