Cerita kesembilan belas
Cerita kedua puluh
Cerita kedua puluh satu
“Tetapi kita punya doa yang pasti suatu saat terjawab….” Aku dan Arlan
kaget mendengar suara yang tiba-tiba di belakang kami. Bersamaan kami menoleh,
kaget melihat sosok perempuan itu.
“Apa kabar kalian?” tanpa permisi dia duduk di sebelahku. Aku dan
Arlan hanya saling pandang.
“Kenapa kalian bengong?” Dia memandang kami dengan tatapan menyelidik,
kemudian tertawa.
“Kalian tahu? Kalian berdua itu seperti pembunuh yang tertangkap
tangan. Mata kalian berdua, seperti ingin memakanku. Hahaha…” dia kembali
tertawa. Iya, benar sekali. Sekarang ini rasanya aku ingin memakannya,
membungkam mulutnya, membunuhnya.
“Tenanglah… rahasia kalian aman di tanganku,” bisiknya lirih tapi
tegas.
“Maksud kamu apa sih, Dis?” tanyaku tak sabar, berusaha menahan diri
untuk tidak memakinya.
“Wis to… jangan pura-pura
bodoh dan nggak bersalah gitu, Na. Apa yang kalian lakukan ini salah, kan?” Dia
menatap tajam ke arahku. “Kalian punya hubungan. Bukan sahabat seperti yang
kalian perlihatkan di depan semua orang, dan di depan pacarmu,” lanjutnya,
dengan memberikan tekanan pada bagian akhir kalimatnya.
“Ngaco…” balasku mulai emosi. Dia tersenyum. Senyum yang sangat
menjengkelkan.
“Aku dengar semua yang kalian bicarakan barusan. Udahlah, ngaku aja! Aku
juga nggak bakal nyebarin perselingkuhan kalian, kok. Hari gini, orang
selingkuh itu udah biasa.” Dia berdiri, mengambil rokok dari tasnya, menyalakan, dan
menghisapnya dalam-dalam.
“Tapi, kalian keterlaluan juga, ya. Kalian bertiga itu sahabatan. Tega
juga kalian berdua…”
“Terserah kamu mau bilang apa, Dis. Itu bukan urusan kamu. Pesanku,
hati-hati dengan mulutmu,” ujar Arlan. Matanya penuh kilat kemarahan. Bergegas dia menarikku, meninggalkan perempuan itu.
Dengan langkah panjang-panjang kami menyusuri jalanan Malioboro yang
ramai dan penuh sesak. Masing-masing hanya diam.
“Menurutmu, apa Gendis akan membocorkan rahasia kita?” tanyaku cemas. Tentu
saja aku tidak percaya saat Gendis bilang rahasia kami aman di tangannya. Siapa
yang tidak tahu reputasinya sebagai sumber gossip bermulut racun.
Arlan mendadak berhenti, mempererat genggamannya di tanganku.
“Tidak. Dia tidak akan bilang ke siapa-siapa,” dia menatap lembut
padaku, meyakinkanku. Aku mengangguk.
***
“Maaf telat, ada sedikit masalah di Rumah Sakit.”
“It’s okey. Mau pesan apa?”
tanyaku pada kekasihku. Kemudian memanggil pelayan dan memesan untuknya.
“Ingat Gendis? Teman SMP kita dulu.”
Deg
“Iya… kenapa?” tanyaku gugup.
Apa yang perempuan itu lakukan? Apa dia bertemu Baruna? Apa dia
menceritakan rahasia itu?
“Dia meninggal, barusan.”
“Apa?” aku benar-benar terkejut kali ini.
“Kecelakaan di Kaliurang. Mobilnya masuk jurang. Waktu dibawa ke Rumah
Sakit masih hidup, tapi tidak berhasil diselamatkan. Makanya aku telat kesini.”
Aku merasakan keringat dingin mengalir di kulitku. Wajahku pias.
“Dari sini kita melayat ke rumahnya, yuk…” Aku hanya mengangguk.
Gendis meninggal? Baru kemarin kami bertemu, dan aku sangat ingin
membunuhnya, ingin dia mati saja. Dan hari ini dia benar-benar mati. Kecelakaan.
Kecelakaan yang sangat kebetulan. Kecelakaan? Atau mungkin… kecelakaan yang
disengaja? Pembunuhan?
teruskan menulisnya yah kak
ReplyDeletekokato