Aku kembali. Jadi, kapan kita
ketemu lagi?
Sekali lagi kubaca pesan itu. Mungkin sudah puluhan kali kubaca sejak
kuterima siang tadi. Hari yang buruk. Buruk sekali untukku. Sekarang tidak ada
lagi Baruna untukku. Tidak sebagai kekasih. Tapi mungkin itu juga berarti tidak
pula sebagai sahabat. Semua sudah berakhir. Kisah romansa kami, persahabatan
kami.
Besok aku ke Banjarmasin. Kamu
dimana?
Akhirnya kubalas juga pesannya. Treett…treett… Handphone dalam
genggamanku bergetar.
Ok, kalau gitu kita ketemu di
Banjarmasin.
***
Aku sampai di Bandara Syamsudin Noor sekitar pukul 9 pagi, mengambil
penerbangan paling pagi dari Juanda. Ada beberapa tempat yang akan kukunjungi
selama seminggu di Kalimantan Selatan. Aku sudah tidak sabar untuk memulai
petualanganku kali ini. Lucky me, aku
punya pekerjaan yang menyenangkan. Masalah seberat apapun, aku rasa tidak akan
mengganggunya. Bahkan, menurutku masalah apa saja mudah dilupakan dengan
berpetualang.
***
Dan di sinilah aku sekarang. Pagi buta, gelap gulita, dingin menyapa.
Tapi begitu ramai dan damai disini. Perahu-perahu memenuhi permukaan Sungai
Barito. Percakapan sahut menyahut, suara tawa, dan semua kesibukan itu memecah
sunyi pagi ini. Sudah berkali-kali aku ke tempat ini. Pasar Terapung Muara Kuin.
Banyak kenangan disini. Bahkan aku pernah nyaris mati juga disini. Bukan
nyaris, tapi memang sudah mati. Jantungku sudah berhenti berdetak selama satu
menit. Beruntung para dokter itu berhasil membuat jantungku kembali bekerja. Begitulah
yang diceritakan Baruna padaku. Yang aku ingat pada hari itu, dia memberiku
kain sasirangan, dan kami menyusuri Sungai Barito. Itu saja. Aku tak tahu apa
yang terjadi. Begitu aku membuka mata, aku sudah terbaring di rumah sakit dan
Baruna tertidur di kursi di samping ranjangku dengan tangan menggenggam
tanganku. Andai saja hari itu aku benar-benar mati, dimanakah aku sekarang? Apakah
jika hari itu aku mati, semua akan jadi lebih baik?
“Dingin?” sebuah suara lembut menyapaku, dan lengannya melingkarkan
sebuah kain ke pundakku. Sasirangan? Kain yang dia bawa ini sama persis dengan
kain dari Baruna waktu itu. Ini seperti dejavu.
“Terima kasih,” ucapku.
“Tempat yang indah. Lihat langit itu, warna keemasannya indah sekali.”
Aku mendongak memandang langit. “Ya, pagi disini memang selalu indah. Aku
selalu suka menanti matahari disini.”
Sunyi kembali menyergap. Masing-masing membisu, mencoba merekam
keindahan semesta yang Tuhan hadirkan dalam ciptaan-Nya yang lain, memori.
“Sejak pertemuan kita di Solo waktu itu, entah kenapa aku jadi
kepikiran kamu terus, ya,” ujarnya seraya meringis, tersenyum kaku. Aku menatapnya
tajam, menyelidik. Mungkin lebih tepatnya mencoba membangun pertahanan.
“Aku tahu, ini nggak semestinya, Na. Baruna itu temanku, dan kamu
pacarnya…”
“Mantan pacarnya,” potongku.
“Apa?”
“Kami sudah putus. Dua hari yang lalu.”
Sekarang giliran dia yang menatapku tajam, mencoba mencerna setiap
kata yang keluar dari mulutku.
“Hubungan kami terlalu rumit, Jim.”
“Jadi, aku punya kesempatan?”
“Aku sudah putus dengan Baruna, tapi bukan berarti aku akan
mempertimbangkan itu. Tidak untuk saat ini.”
“Oke”
“Aku cuma butuh petualangan, Jim. Cuma itu yang bisa membuatku lupa
dengan semua masalahku.”
“Aku akan menemanimu.”
“Tidak perlu.”
“Aku tidak minta persetujuanmu,” jawabnya keras kepala. Aku mencubitnya
dengan kesal dan dia tertawa. Tawa itu, hangat dan menenangkan. Seperti tawa
Arlan.
“Tunggu sebentar, ya,” ujarnya, kemudian berjalan meninggalkanku.
***
Pagi di Sungai Barito minggu lalu adalah terakhir kalinya aku bertemu
Jimmy. Dua hari setelah pertemuan kami, mayatnya ditemukan mengapung di Sungai
Barito.
No comments:
Post a Comment