Aku suka saat seperti ini. Memandang hujan dari balik jendela sambil menikmati secangkir coklat panas. Harum coklat bercampur bau tanah basah yang menyegarkan, selalu bisa memberikan ketenangan. Aku suka hujan. Aroma tanah yang terjamah olehnya, suara air yang berisik berlomba-lomba turun dari langit, gemuruh petir, dan yang pasti aku selalu menantikan pelangi yang akan muncul sesudahnya. Setidaknya dulu sewaktu aku masih kecil, sering melihat pelangi muncul setelah hujan reda. Tapi sekarang, entah mengapa pelangi tak pernah lagi menampakkan diri.
“Riiiiiiiii...” sebuah suara, yang lebih tepat disebut teriakan, memanggilku, hampir membuat cangkir dalam genggamanku meloncat.
“Apaan, sih, teriak-teriak kayak gitu? Aku nggak budheg kali” omelku sambil meletakkan cangkir yang sudah kosong ke meja.
Cewek manis di depanku ini seakan tak perduli dengan tampang garang yang sengaja ku pasang, malah senyum-senyum nggak jelas. Cantik. Ya, Keiko memang cantik. Gadis berkulit putih dengan rambut lurus sebahu, bibirnya mungil menggemaskan, dan mata sipitnya serta lesung pipi itu menambah kesempurnaan wajahnya. Keiko lebih mirip Ibunya yang orang Jepang daripada ayahnya yang Jawa. Aku suka melihatnya tersenyum ataupun tertawa, karena mata sipitnya pasti merem, lucu. Rumah kami bersebelahan dan kami bersahabat dari kecil, kami tumbuh bersama, selalu menghabiskan waktu berdua.