The Other Side of Me: Dia yang Berakhir di November

Monday, January 16, 2012

Dia yang Berakhir di November

3 November 2011
            “Lama ya nunggunya?” dia menghampiriku dengan wajah bersalahnya.
            “Nggak lama kok, baru juga sejam” jawabku sambil melihat jam tanganku.
            “Maaf banget ya, Sayang, tadi ada rapat dadakan.”
            “Iya, nggak apa-apa. Ya udah, yuk, pulang,” aku menyeretnya menuju motor kesayangannya.
Aku sudah capek. Seharian kerjaan seperti tak ada habisnya. Ditambah harus menunggunya menjemputku, dan satu jam bukan waktu yang singkat untuk menunggu. Dia memacu motornya menembus keremangan malam yang dingin.
“Mau makan dulu nggak?” teriaknya berusaha mengalahkan bisingnya jalanan.
            “Boleh deh makan dulu,” ujarku sedikit kurang berminat. Sebenarnya aku tidak ingin makan, aku hanya ingin merebahkan tubuh di kasur empukku. Penat ini sudah tidak tertahankan. Tapi aku tidak ingin membuatnya kecewa. Tak lama kami sampai di warung nasi gandul langganan kami. Nasi gandul di warung ini sangat enak ditambah suasana warung yang nyaman, membuat kami selalu ingin kembali kesini. Warung ini merupakan salah satu tempat kami menghabiskan hari-hari bersama kami.
            “Kenapa sayang? Kok diam aja?”
            “Nggak apa-apa, cuma capek aja,” aku berusaha tersenyum, “di kantor banyak kerjaan tadi.”
            Tak lama pesanan kami datang. Nasi gandul dengan tempe goreng dan segelas teh hangat. Kami menikmati makan malam sambil berceloteh riang. Ah, dia selalu saja bisa membuatku melupakan rasa lelah dan penat yang kurasa, selalu bisa membuatku tertawa dan kembali ceria.
            “Tanggal 11 nanti bisa nggak nemenin aku ke nikahan Irfan?” disela-sela suapannya dia bertanya padaku.
            “Tanggal 11, ya? Hari apa itu?”
            “Jumat”
            “Hmmm... sepertinya nggak bisa, deh. Hari itu aku harus ketemu klien. Proyek ini harus bisa deal, Yang. Ini proyek besar.”
            “Nggak bisa digantiin teman kamu, ya?” aku menangkap raut kecewa diwajahnya, wajah yang selalu ada dibenakku.
            “Sebenarnya sih bisa aja. Tapi bos maunya aku yang pergi,” aku memasang wajah “tolong mengertilah” yang selama ini selalu berhasil membuatnya tidak tega memaksaku.

10 November 2011
            “Yakin besok nggak mau nemenin?”
            “Maaf banget, Sayang... tapi beneran aku nggak bisa. Kalau bisa aku pasti mau banget lah nemenin kamu. Apalagi Irfan kan sahabat kamu.” Aku berusaha meyakinkannya.
            Dia hanya diam memandangi gelas kopinya yang hampir kosong. Hujan di luar belum juga reda, membuat dinginnya malam menjadi semakin dingin.
            “Ya udah, nggak apa-apa,” dia berusaha menampakkan kesan bahwa ketidakhadiranku besok adalah bukan masalah besar. Tapi gagal. Aku tahu, lebih dari sekedar tahu bahwa dia sangat kecewa. Irfan adalah sahabatnya. Dan besok adalah pernikahan Irfan, hari yang sangat spesial bagi Irfan. Pasti dia ingin melewatkan hari spesial sahabatnya dengan orang yang spesial pula, aku, kekasihnya.
            Aku juga ingin menyaksikan hari bahagia Irfan, tapi bagaimana proyek itu? Ini proyek besar. Aku tidak bisa melewatkannya begitu saja. Ini kesempatan yang bagus buatku. Sudahlah, aku yakin kekecewaannya tidak akan lama. Mungkin tiga hari lagi dia sudah melupakan hal itu. Sebagai gantinya, setelah aku selesai dengan proyek besarku ini, aku akan mengajaknya liburan, mungkin ke Bali atau Lombok. Dia tidak akan mungkin menolaknya. Sudah lama kami tidak berlibur berdua.

11 November 2011
            Sungguh melegakan. Pertemuanku dengan klien membahas proyek kami berjalan dengan lancar. Tidak ada masalah yang berarti diantara kedua belah pihak. Deal. Aku berhasil mendapatkan proyek ini. Sepanjang perjalanan pulang senyum menghiasai wajahku. Aku tidak sabar untuk mengatakan kabar gembira ini padanya. Tidak sabar mengutarakan rencana liburan itu. tidak sabar melihat kebahagiaan dari matanya. Sampai di rumah, mama menyambutku di depan pintu. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres. Mendung menggelayuti wajah tua mama.
            “Re, kenapa HP kamu matiin?”
            “Tadi Rena kan meeting sama klien, Ma, takut ganggu,” perasaanku jadi tidak enak seketika itu juga, “ada apa sih, Ma?”
            Mama diam beberapa detik sebelum menjawab, “Sandy kecelakaan.”
            Lututku lemas, tidak mampu lagi menopang tubuhku. Mama membantuku masuk ke dalam rumah.
            “Ma, gimana keadaan Sandy?” tanyaku lirih disela isak tangis yang mulai berebut keluar.
            Mama tidak menjawab tetapi ikut menangis. Mama memelukku erat, erat sekali seakan tidak ingin seorangpun menyakitiku. Lamat-lamat mama berbisik di telingaku, “Sandy meninggal.”
            Bisikan lirih mama bagaikan petir yang menggelegar. Tidak mungkin dia meninggal. Dia sedang menghadiri pernikahan sahabatnya. Bagaimana mungkin bisa meninggal? Baru saja aku ingin menyampaikan kabar gembira padanya, megajaknya berlibur berdua, hanya aku dan dia saja. Tangisanku memenuhi malam sunyi, seakan berlomba dengan suara hujan diluar sana. Air mataku laksana rinai hujan yang tiada akhir. Kekasihku pergi meninggalkanku begitu saja. Dan aku sangat menyesal karena telah mengecewakannya. Seharusnya malam ini aku menemaninya. Persetan dengan proyek bodoh itu, aku bisa minta tolong temanku untuk menggantikanku. Betapa bodohnya aku, lebih mementingkan pekerjaan itu daripada orang yang sangat berarti bagiku. Aku merutuki diri, setiap hari, setiap detik. Semua ini salahku.

30 November 2011
            “Aku kangen banget sama kamu,” bisikku lirih, “seharusnya kamu ada disisiku hari ini. Aku nggak sanggup tanpa kamu.”
            Gundukan tanah di depanku diam membisu, seakan mendengarkan setiap kata yang aku ucapkan. Setiap hari aku kesini, menangis, menyalahkan diri, merutuki kesalahanku, mengungkapkan penyesalanku.
            Sejak kepergiannya, aku menjadi sangat terpuruk. Pekerjaanku tidak ada yang beres. Aku selalu murung dan lebih banyak diam. Makanan seakan menjadi musuhku, aku enggan menyentuhnya. Aku berubah. Rena yang ceria itu sudah tidak ada. Rena yang sekarang adalah Rena yang rapuh. Penyesalanlah yang membuatku sangat rapuh. Andai saja malam itu aku ikut, mungkin aku akan mati bersamanya. Dan itu lebih baik, daripada aku hidup dengan menanggung penyesalan ini.
            “Re, Sandy pasti sedih lihat kamu sedih terus,” ujar mama Sandy beberapa hari yang lalu sewaktu kami bertemu disini, “Rena ikhlasin Sandy, ya, Sayang.”
            “Ini semua sudah takdir, Re, kehendak Allah. Nggak ada yang perlu disesali. Bukan salah kamu. Mungkin memang harus seperti itu. Skenario Allah tidak ada yang bisa merubah.,” lanjutnya.
            “Mulai sekarang kamu harus menata lagi hidup kamu. Mulai lembaran baru. Sandy udah nggak ada, terima itu dengan ikhlas. Jangan nyalahin diri terus. Hidup kamu, masa depan kamu masih panjang, dengan atau tanpa Sandy. Sandy pasti ingin lihat kamu bahagia, Re,” aku melihat kesungguhan dan kasih sayang dimata beliau sewaktu mengatakan semua itu.
            “Yang dikatakan mama kamu kemarin itu benar. Kamu pasti ingin lihat aku bahagia. Kamu pasti nggak suka kalau aku terus-terusan seperti ini,” ujarku pada batu nisan.
            “Aku tahu aku harus bangkit. Seberat apapun ini, aku akan hadapi. Sulit, San, sangat sulit harus menjalani hidup ini tanpa kamu.” Air mata mengalir begitu saja, jatuh ke pipi satu-satu.
            “Aku janji sama kamu, aku akan memulai dari awal. Kembali menjadi Rena yang dulu. Kali ini tanpa kamu disisiku. Tapi kamu pasti tahu pasti, kamu selalu ada dan akan selalu ada dihatiku. Dulu, sekarang, dan nanti. Nggak akan berubah sampai kapanpun. Bahkan jika suatu saat aku menemukan seseorang yang bisa menyayangiku seperti yang kamu berikan, kamu akan tetap ada, tidak akan pernah mati cintaku buat kamu.” Aku berhenti sejenak, menyelesaikan tangisku yang semakin menjadi, menjadikannya satu-satunya suara di pemakaman yang sunyi ini.
            “Dan sekarang, biarkan hari ini menjadi akhir hari-hari burukku. Cukup sampai hari ini saja aku membuatmu sedih. Aku akan menjadi Rena yang kamu banggakan. Mulai besok, ijinkan aku memulai hidup baruku, awal dari semuanya. Biarkan kepedihan ini berakhir, cukup sampai akhir bulan ini saja, November.” Aku hapus satu-satu air mata ini, tersenyum pada gundukan tanah di depanku. Aku seakan melihat Sandy, tersenyum padaku. Senyum hangat yang selalu membuatku tenang, senyum yang selalu aku rindukan. Aku siap menatap hari esok yang lebih baik.

*Dibukukan dalam antologi bersama "Goodbye November" (Nulisbuku)* 

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week