The Other Side of Me: Cerita di Kala Hujan

Sunday, January 15, 2012

Cerita di Kala Hujan

Aku suka saat seperti ini. Memandang hujan dari balik jendela sambil menikmati secangkir coklat panas. Harum coklat bercampur bau tanah basah yang menyegarkan, selalu bisa memberikan ketenangan. Aku suka hujan. Aroma tanah yang terjamah olehnya, suara air yang berisik berlomba-lomba turun dari langit, gemuruh petir, dan yang pasti aku selalu menantikan pelangi yang akan muncul sesudahnya. Setidaknya dulu sewaktu aku masih kecil, sering melihat pelangi muncul setelah hujan reda. Tapi sekarang, entah mengapa pelangi tak pernah lagi menampakkan diri.
“Riiiiiiiii...” sebuah suara, yang lebih tepat disebut teriakan, memanggilku, hampir membuat cangkir dalam genggamanku meloncat.
“Apaan, sih, teriak-teriak kayak gitu? Aku nggak budheg kali” omelku sambil meletakkan cangkir yang sudah kosong ke meja. 
Cewek manis di depanku ini seakan tak perduli dengan tampang garang yang sengaja ku pasang, malah senyum-senyum nggak jelas. Cantik. Ya, Keiko memang cantik. Gadis berkulit putih dengan rambut lurus sebahu, bibirnya mungil menggemaskan, dan mata sipitnya serta lesung pipi itu menambah kesempurnaan wajahnya. Keiko lebih mirip Ibunya yang orang Jepang daripada ayahnya yang Jawa. Aku suka melihatnya tersenyum ataupun tertawa, karena mata sipitnya pasti merem, lucu. Rumah kami bersebelahan dan kami bersahabat dari kecil, kami tumbuh bersama, selalu menghabiskan waktu berdua.
         “Pasti lagi mandangin hujan,” tanpa basa-basi dia duduk disebelahku, ikut memandang hujan, seperti yang biasa kami lakukan. Aku hanya diam.
         “Aku punya berita bagus dan buruk,” Keiko menghela nafas sesudah mengatakannya.
         “Apaan?” tanyaku penasaran.
         “Mau yang bagus dulu atau yang buruk dulu?”
         “Apa aja deh, Kei” ujarku tak sabaran.
     “Nggak mau, ah! Pokoknya harus pilih.” itulah Keiko, selalu merajuk dan semua keinginannya harus dituruti kalau tidak ingin dia ngambek.
          “Ya udah, deh, yang bagus dulu.” kataku akhirnya, mengalah.
         “Berita bagusnya….” dia sengaja berlama-lama mengatakannya, “aku dapat beasiswa di Tokyo University, Ri! Gila, senang banget… Itu impianku dari dulu.” Keiko tampak sangat gembira, ya, dia memang sedang bahagia karena beasiswa itu. Sebagai sahabat yang baik seharusnya aku ikut senang mendengar kabar ini. Tetapi jangankan senang, bahkan aku tidak menganggap hal ini sebagai kabar baik, tapi kabar buruk. Dan sepertinya dia menyadarinya.
         “Ri? Kamu nggak senang, ya, aku dapat beasiswa ini?”
        “Ya senanglah, Kei. Kamu kan udah berjuang mati-matian buat dapetin beasiswa ini,” dengan senyum yang dipaksakan aku berusaha tampak gembira, “selamat ya, Kei”
        “Tapi… berita buruknya, kita jadi jauh, deh,” lirih Keiko mengatakannya. Dia tampak sedih, begitupun aku.
         “Aku pasti kangen banget sama kamu, Ri.” dia memelukku, hangat. Andai saja aku bisa menghentikan waktu. Aku ingin lebih lama merasakan pelukannya, kalau bisa tak kan pernah aku lepaskan.
       “Aku juga, Kei, pasti kangen banget sama kamu. Nggak ada lagi deh nenek cerewet yang selalu ngomelin aku,” aku mencoba bercanda. Keiko mencubit lenganku, kesal.
         “Kapan berangkat, Kei?”
         “Dua minggu lagi.”
         “Secepat itu?”
         “Iya, padahal banyak yang belum aku siapkan.”
         “Aku pasti kehilangan kamu banget.”
         “Aku juga, Ri.”
       Jeda. Hanya riuh hujan diluar yang terdengar. Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Aku belum siap berpisah karena aku terbiasa dengannya. Kami belum pernah jauh, sejak pertama kali berteman. Aku akan sangat merindukannya.
         “Biar nggak kesepian karena jauh dari kamu, mungkin disana aku cari pacar aja kali, ya.” reflek aku menoleh ke arahnya.
       “Iya… mungkin itu lebih baik.” ucapanku sangat bertolak belakang dengan hatiku. Pacar? Kalau saja Keiko tahu bagaimana perasaanku.
          "Kamu juga, Ri. Cari pacar sana. Udah terlalu lama kamu menutup diri.”
           Ya, sudah lima tahun sejak kekasihku, maaf, mantan kekasihku, meninggalkanku demi orang lain. Tetapi sebenarnya sudah lama lukaku itu sembuh, dan sudah lama ku temukan seseorang yang dapat membuat hariku kembali ceria. Orang itu sekarang duduk tepat di sebelahku. Tapi dia tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu itu.

***
        Sudah dua bulan Keiko di Jepang dan hujan masih saja setia membasuh bumi. Seperti hari ini. Langit kelam, sama seperti hatiku saat ini. Aku merasa dingin dan sepi. Tetapi hatiku terasa lebih sepi daripada ruangan ini. Ku pandangi lagi jendela di depanku. Basah. Hatiku juga basah oleh tetesan-tetesan rindu yang selalu menyerbu. Kusesap cangkir ditanganku. Hanya coklat panas ini yang setia menemani. Ya, sedikit menghangatkan. Tapi aku merasa ada yang kurang. Sekarang tinggal aku sendiri duduk di ruangan ini, memandangi hujan di luar. Tidak ada lagi gadis manis bermata sipit yang duduk di sebelahku dan memandangi hujan bersamaku sambil menikmati secangkir coklat panas. Ah, Keiko… seandainya kamu disini. Aku kangen banget sama kamu, Kei.
         Pikiranku menerawang. Perasaan ini sungguh menyiksaku. Aku sayang Keiko. Dan aku sadar sepenuhnya, perasaanku itu lebih dari sekedar sahabat. Hatiku sakit dan panas setiap kali Keiko dekat dengan lelaki. Cemburu. Aku tidak suka dia bermanja-manja dengan orang lain. Aku ingin melindunginya, memilikinya. Aku jatuh cinta padanya.
     Tetapi tidak mungkin hal ini aku katakan padanya. Tidak boleh. Karena sampai kapanpun aku hanyalah seorang sahabat untuknya, tidak lebih, dan tidak akan pernah lebih dari itu. Aku harus membuang jauh-jauh perasaanku. Aku tidak boleh membiarkan perasaan ini tumbuh semakin besar dan tertancap semakin dalam. Sulit, sangat sulit. Patah hati. Aku takut menjadi rapuh sekali lagi. Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk menyelamatkan hatiku? Tidak ada, selain harus tetap mengembalikan posisi Keiko di hatiku ketempatnya semula, sebagai sahabat.
    “Tuhan, andai aku boleh mencintainya, memilikinya selamanya. Aku pasti akan menjaganya dengan baik, mencintainya sepenuh hati dan tidak akan membiarkannya terluka. Andai aku boleh, Tuhan.” bisikku lirih kepada hujan di luar. Rasa sakit yang aku rasakan membuat air mata perlahan keluar, makin lama makin deras, sederas hujan.
       Dering handphone menghentikan lamunanku. Sekilas kubaca nama yang muncul di layar sebelum mengangkatnya.
        “Halo, Kei,” sapaku dengan suara serak.
        “Ri… kok suara kamu aneh, seperti orang habis nangis.” tak ada jawaban.
        “Kamu habis nangis ya, Ri?” tanyanya untuk meyakinkan diri.
        “Nggak, kok. Lagi flu aja.” aku berbohong.
       “Ri, bukan baru kemarin aku kenal kamu. Aku bisa bedain suara kamu mana yang lagi flu dan mana yang habis nangis.”
     Tidak akan bisa membohongi seorang Keiko, meskipun dengan mudahnya aku bisa membohonginya tentang perasaanku yang sebenarnya. Berbohong seakan aku baik-baik saja di depannya, walaupun di dalam hati sangat menyiksa. Karena aku tidak ingin dia membenciku kalau sampai dia tahu aku mencintainya.
        “Ri? Riana…?” sekali lagi dia memanggil
        “Aku kangen kamu, Kei…”
       “Aku juga kangen sama kamu. Di sini teman ceweknya nggak ada yang seru kayak kamu. Eh, tapi teman sekelasku ada yang cakep banget deh, Ri! Sepertinya aku naksir deh sama dia….” dan Keiko tak hentinya berceloteh. Aku hanya diam mendengarkan sambil menahan segala perasaan.
 

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week