“Tidak! Mama tidak setuju!”
“Tapi, Ma… Andra sayang sama dia,” aku berusaha
meyakinkan mama.
“Mama
bilang tidak boleh, ya tidak boleh, Andra!” Mama memandangku galak.
Aku berlari keluar rumah, tidak lagi menghiraukan
teriakan mama yang memanggilku. Kubawa langkahku menyusuri jalanan menuju tempat
biasa kita bertemu.
Jam besar di atas menara itu menunjukkan pukul
5.10 ketika aku tiba. Aku tahu kamu pasti ada disana, menikmati suasana senja
Kota Bukittinggi di bawah Jam Gadang seperti sore-sore yang telah lalu. Jika di
hari-hari lalu aku dengan riang datang ke sini, tidak begitu sore ini. Berat
untuk memberikan kabar ini padamu. Aku tidak ingin membuatmu sedih. Jalan
hidupmu selama ini sudah sangat berat dan aku tidak mau menambahnya lagi.
Sengaja aku berlama-lama berdiri di pinggir jalan,
memandang jarum jam di atas sana yang dengan sombongnya berputar tanpa beban,
seolah mengejekku. Lebih jauh lagi pandanganku menerawang, menembus perkasanya
Gunung Singgalang jauh di depan sana. Indah. Semburat jingga terlukis manis di
langit, melengkapi paduan sempurna Jam Gadang yang berlatarkan Gunung
Singgalang. Mungkin karena inilah kamu suka menghabiskan senjamu disini.
Sepertinya senja yang indah ini memberiku sedikit
kekuatan dan keberanian. Kuayunkan langkah menuju taman. Kakiku berhenti
sejenak ketika melihatmu duduk menunggu. Kuhela nafas panjang dan kembali
berjalan menghampirimu. Aku duduk di sampingmu, ikut menikmati suasana taman
ini.
“Maaf, aku belum bisa meyakinkan mama,” gumamku
perlahan. Aku merasakan tatapan nanar dari mata beningmu yang tajam. Kebisuan
menyelimuti kita selama beberapa menit. Tatapanku kembali tertuju pada menara
di depanku yang masih berdiri kokoh, padahal bangunan yang dirancang oleh Yazin
Sutan Gigi Ameh itu sudah berdiri selama 86 tahun. Kalau manusia, dia pasti
sudah sangat renta.
Aku membelai lembut kepalamu, mengingat
kebersamaan kita selama ini. Disinilah pertama kali kita bertemu. Kamu yang
usil menggangguku, membuatku marah dan hampir memukulmu. Sungguh, kadang kamu
begitu menyebalkan kalau sedang berulah. Tapi sebenarnya kamu manis, sangat
manis. Aku suka memandang mata beningmu yang tajam itu. Mata yang selalu
bersinar. Aku suka membelai kepalamu, dan aku tahu kamu juga suka itu. Si manis
yang manja, begitu aku menyebutmu.
Tiba-tiba kamu menghambur dalam pelukanku. Aku
tahu, kamu pasti sedih mendengar kabar itu. Sudah berulang kali aku memohon
pada mama untuk mengijinkan kita bersama, tapi mama selalu menolak. Tidak
tahukah mama kalau aku sangat ingin memilikimu?
“Aku tidak akan menyerah, Manis. Aku akan terus berusaha
meyakinkan mama untuk menerimamu. Mama pasti bisa mengerti kalau aku sayang
sekali sama kamu. Aku ingin memilikimu.” Manisku tetap diam dalam pelukanku,
dengan raut muka yang terlihat sendu.
“Sabar, ya. Biarlah kita begini dulu. Kita masih
bisa bertemu setiap hari disini, kan? Aku yakin mama pasti akan memberikan
lampu hijau, mama akan kasih ijin,” ujarku berusaha menenangkan. Aku melepaskan
pelukanku, membuka bungkusan plastik yang tadi kubawa dari rumah dan
mengeluarkan isinya.
“Kamu pasti lapar, kan? Ini, aku bawakan makanan
kesukaanmu,” ujarku, menyodorkan makanan yang langsung kau makan dengan lahap.
Aku tersenyum melihatnya. Kamu selalu terlihat rakus kalau makan, lebih rakus
dari aku.
“Kamu suka? Besok aku bawain lagi, ya, yang lebih
banyak dari ini.”
Kamu memandangku. Aku tahu arti tatapan itu. Kamu
ingin bilang terima kasih, kan? Ah, kamu memang pintar, Manis. Itulah kenapa
aku sayang sama kamu. Kamu pintar dan penurut. Tapi mama selalu saja
menghalangiku untuk membawamu pulang, karena mama membencimu, dan semua dari
jenismu. Mama alergi bulu kucing.
*Sebuah Flash Fiction untuk #15HariNgeblogFF2 hari pertama
*Sebuah Flash Fiction untuk #15HariNgeblogFF2 hari pertama
ah..unpredictable twist! lucu endingnya :D
ReplyDelete