The Other Side of Me: Menunggu Lampu Hijau

Tuesday, June 12, 2012

Menunggu Lampu Hijau


“Tidak! Mama tidak setuju!”
“Tapi, Ma… Andra sayang sama dia,” aku berusaha meyakinkan mama.
“Mama  bilang tidak boleh, ya tidak boleh, Andra!” Mama memandangku galak.
Aku berlari keluar rumah, tidak lagi menghiraukan teriakan mama yang memanggilku. Kubawa langkahku menyusuri jalanan menuju tempat biasa kita bertemu.
Jam besar di atas menara itu menunjukkan pukul 5.10 ketika aku tiba. Aku tahu kamu pasti ada disana, menikmati suasana senja Kota Bukittinggi di bawah Jam Gadang seperti sore-sore yang telah lalu. Jika di hari-hari lalu aku dengan riang datang ke sini, tidak begitu sore ini. Berat untuk memberikan kabar ini padamu. Aku tidak ingin membuatmu sedih. Jalan hidupmu selama ini sudah sangat berat dan aku tidak mau menambahnya lagi.
Sengaja aku berlama-lama berdiri di pinggir jalan, memandang jarum jam di atas sana yang dengan sombongnya berputar tanpa beban, seolah mengejekku. Lebih jauh lagi pandanganku menerawang, menembus perkasanya Gunung Singgalang jauh di depan sana. Indah. Semburat jingga terlukis manis di langit, melengkapi paduan sempurna Jam Gadang yang berlatarkan Gunung Singgalang. Mungkin karena inilah kamu suka menghabiskan senjamu disini.
Sepertinya senja yang indah ini memberiku sedikit kekuatan dan keberanian. Kuayunkan langkah menuju taman. Kakiku berhenti sejenak ketika melihatmu duduk menunggu. Kuhela nafas panjang dan kembali berjalan menghampirimu. Aku duduk di sampingmu, ikut menikmati suasana taman ini.
“Maaf, aku belum bisa meyakinkan mama,” gumamku perlahan. Aku merasakan tatapan nanar dari mata beningmu yang tajam. Kebisuan menyelimuti kita selama beberapa menit. Tatapanku kembali tertuju pada menara di depanku yang masih berdiri kokoh, padahal bangunan yang dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh itu sudah berdiri selama 86 tahun. Kalau manusia, dia pasti sudah sangat renta.
Aku membelai lembut kepalamu, mengingat kebersamaan kita selama ini. Disinilah pertama kali kita bertemu. Kamu yang usil menggangguku, membuatku marah dan hampir memukulmu. Sungguh, kadang kamu begitu menyebalkan kalau sedang berulah. Tapi sebenarnya kamu manis, sangat manis. Aku suka memandang mata beningmu yang tajam itu. Mata yang selalu bersinar. Aku suka membelai kepalamu, dan aku tahu kamu juga suka itu. Si manis yang manja, begitu aku menyebutmu.
Tiba-tiba kamu menghambur dalam pelukanku. Aku tahu, kamu pasti sedih mendengar kabar itu. Sudah berulang kali aku memohon pada mama untuk mengijinkan kita bersama, tapi mama selalu menolak. Tidak tahukah mama kalau aku sangat ingin memilikimu?
“Aku tidak akan menyerah, Manis. Aku akan terus berusaha meyakinkan mama untuk menerimamu. Mama pasti bisa mengerti kalau aku sayang sekali sama kamu. Aku ingin memilikimu.” Manisku tetap diam dalam pelukanku, dengan raut muka yang terlihat sendu.
“Sabar, ya. Biarlah kita begini dulu. Kita masih bisa bertemu setiap hari disini, kan? Aku yakin mama pasti akan memberikan lampu hijau, mama akan kasih ijin,” ujarku berusaha menenangkan. Aku melepaskan pelukanku, membuka bungkusan plastik yang tadi kubawa dari rumah dan mengeluarkan isinya.
“Kamu pasti lapar, kan? Ini, aku bawakan makanan kesukaanmu,” ujarku, menyodorkan makanan yang langsung kau makan dengan lahap. Aku tersenyum melihatnya. Kamu selalu terlihat rakus kalau makan, lebih rakus dari aku.
“Kamu suka? Besok aku bawain lagi, ya, yang lebih banyak dari ini.”
Kamu memandangku. Aku tahu arti tatapan itu. Kamu ingin bilang terima kasih, kan? Ah, kamu memang pintar, Manis. Itulah kenapa aku sayang sama kamu. Kamu pintar dan penurut. Tapi mama selalu saja menghalangiku untuk membawamu pulang, karena mama membencimu, dan semua dari jenismu. Mama alergi bulu kucing.


*Sebuah Flash Fiction untuk #15HariNgeblogFF2 hari pertama

1 comment:

Music Video of The Week