The Other Side of Me: Pagi Kuning Keemasan

Wednesday, June 13, 2012

Pagi Kuning Keemasan

Cerita ketiga


Akhirnya aku kembali ke pulau ini lagi. Satu tahun. Ya, hari  ini tepat satu tahun sejak peristiwa kelam itu.

Kuayunkan langkahku yang terasa berat menuju mercusuar yang tinggi menjulang di depan sana. Aku pernah mencapai lantai tertinggi mercusuar itu, merekam indahnya langit jingga ciptaan Tuhan bersama Luna, gadis manis yang sudah empat tahun ini menjadi kekasihku.  Pernah juga menanti cahaya kuning pagi hari di puncak tertinggi itu bersama dia, kekasihku yang lain.

“Baruna, andai saja kita bisa tinggal di pulau ini selamanya. Cuma kita berdua,” ujar Luna sore itu.
“Emang kamu betah? Disini nggak ada mall, nggak ada bioskop, nggak ada salon,” aku terkekeh menanggapi.
“Iya, sih. Tapi disini indah banget! Makasih, ya, udah ngajak aku kesini. Beruntungnya aku punya cowok sebaik kamu.” Luna memelukku hangat, ada senyuman di wajah Luna.

 Hari itu kami bertiga, aku, Luna, dan dia, berlibur ke Pulau Lengkuas yang menawan. Kami tertawa bersama, snorkeling, bermain pasirnya yang putih, berlarian diantara batu-batu granit raksasa, berfoto bersama dengan gaya konyol. Hari yang sangat indah dan menyenangkan. Siapa sangka liburan yang sempurna itu berubah menjadi petaka.

“Baruna, aku mencintaimu,” ujar dia, sewaktu kami bertemu diam-diam di bibir pantai.
“Aku juga,” jawabku pendek.
“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Luna?”
“Nggak tahu. Yang aku tahu, kalau kita ngomong soal kita ke Luna, itu bukan pilihan bagus,” desisku.
“Aku nggak tahan lagi kalau harus main kucing-kucingan kayak gini.” Dia mencoba tenang, tapi gagal. Aku memegang tangannya. Dingin. Dan gemetar.

Pagi hampir menjelang kala itu. Langit mulai menampakkan sinar kuning keemasan, warna langit yang dia suka. Dia keluarkan obat yang selalu dibawanya kemana-mana. Diminumnya sebutir, dua butir, dia hampir meminum butir ketiga ketika tanganku menahannya.

“Jangan minum obat-obat itu lagi!” hardikku.
“Cuma ini yang bisa bikin aku tenang, Bar. Kamu tahu? Aku nggak pernah bisa hidup dengan tenang. Selalu berpura-pura menjadi sahabat yang baik di depan Luna, selalu menahan perasaan setiap kali kalian bermesraan. Kamu pikir gampang jadi aku?” teriaknya tertahan.
Aku memeluknya, berusaha membuatnya tenang. Dia menangis.
“Baruna, sebenarnya siapa yang kamu pilih?” tanyanya putus asa.
“Aku nggak tahu,” jawabku lirih, “aku mencintai kalian berdua. Jangan suruh aku memilih.”
“Apa kamu akan meninggalkanku?”
“Tidak!”
“Kalau begitu tinggalkan Luna.”
“Tidak!”
“Baruna!”
“Tidak bisakah kita jalani saja seperti sekarang? Aku tidak akan bisa meninggalkan salah satu dari kalian.”
Aku menarik wajahnya mendekat, kemudian menciumnya. Hangat.

“Kalian brengsek!” Sebuah teriakan membuat kami beku, kaku di tempat, bahkan dengan bibir masih saling bertaut.

Suara itu disusul cepat dengan hantaman yang keras di kepalaku. Aku jatuh tersungkur. Luna. Akhirnya Luna tahu tentang kami. Luna baru saja melihat apa yang aku dan dia lakukan. Luna marah. Dengan kalap Luna memukul dia. Aku masih bisa mendengar teriakan marah Luna dan rintih kesakitan dia.

“Baruna Prihadiyoko, maukah kau menerimaku sama halnya aku menerimamu?” Samar ku dengar pertanyaan dengan nada mendesak dari Luna. Aku hanya mampu mengangguk, sebelum kemudian tatapanku mulai gelap, dan suara-suara di sekitarku lenyap.

Sejak hari itu aku tidak pernah lagi bertemu dia. Luna bilang telah menghanyutkannya ke laut setelah puas memukulinya. Mungkin dia sudah mati dimakan ikan, begitu kata Luna.

Aku masih ingat kata-kata Luna sewaktu aku siuman pagi itu.
“Kamu menjijikkan, Bar! Kamu selingkuh dari aku? Sama dia? Seharusnya aku tahu. Tapi tidak. Aku tidak pernah menyangka akan seperti ini jadinya.” Kilat kemarahan terpancar dari mata Luna.
“Kita bertiga sudah lama bersahabat. Mana mungkin aku curiga melihat kedekatan kalian? Kalian jahat! Kalian makhluk yang menjijikkan!” teriak Luna marah.
“Aku cinta sama kamu, Baruna, sampai kapan pun. Setelah apa yang kamu lakukan itu, aku tetap mencintai kamu. Sekarang tidak ada lagi dia. Dia sudah mati. Tidak ada Arlan yang akan merebutmu dariku. Lelaki menjijikkan itu sudah mati!”

*Sebuah tulisan untuk #15HariNgeblogFF2 hari kedua

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week