Cerita ketiga
Akhirnya aku kembali ke pulau ini lagi. Satu tahun. Ya,
hari ini tepat satu tahun sejak
peristiwa kelam itu.
Kuayunkan langkahku yang terasa berat menuju mercusuar yang
tinggi menjulang di depan sana. Aku pernah mencapai lantai tertinggi mercusuar
itu, merekam indahnya langit jingga ciptaan Tuhan bersama Luna, gadis manis
yang sudah empat tahun ini menjadi kekasihku. Pernah juga menanti cahaya kuning pagi hari di
puncak tertinggi itu bersama dia, kekasihku yang lain.
“Baruna, andai saja kita bisa tinggal di pulau ini
selamanya. Cuma kita berdua,” ujar Luna sore itu.
“Emang kamu betah? Disini nggak ada mall, nggak ada bioskop,
nggak ada salon,” aku terkekeh menanggapi.
“Iya, sih. Tapi disini indah banget! Makasih, ya, udah
ngajak aku kesini. Beruntungnya aku punya cowok sebaik kamu.” Luna memelukku
hangat, ada senyuman di wajah Luna.
Hari itu kami
bertiga, aku, Luna, dan dia, berlibur ke Pulau Lengkuas yang menawan. Kami tertawa
bersama, snorkeling, bermain pasirnya yang putih, berlarian diantara batu-batu
granit raksasa, berfoto bersama dengan gaya konyol. Hari yang sangat indah dan
menyenangkan. Siapa sangka liburan yang sempurna itu berubah menjadi petaka.
“Baruna, aku mencintaimu,” ujar dia, sewaktu kami bertemu
diam-diam di bibir pantai.
“Aku juga,” jawabku pendek.
“Sampai kapan kita harus merahasiakan ini dari Luna?”
“Nggak tahu. Yang aku tahu, kalau kita ngomong soal kita ke
Luna, itu bukan pilihan bagus,” desisku.
“Aku nggak tahan lagi kalau harus main kucing-kucingan kayak
gini.” Dia mencoba tenang, tapi gagal. Aku memegang tangannya. Dingin. Dan gemetar.
Pagi hampir menjelang kala itu. Langit mulai menampakkan
sinar kuning keemasan, warna langit yang dia suka. Dia keluarkan obat yang
selalu dibawanya kemana-mana. Diminumnya sebutir, dua butir, dia hampir meminum
butir ketiga ketika tanganku menahannya.
“Jangan minum obat-obat itu lagi!” hardikku.
“Cuma ini yang bisa bikin aku tenang, Bar. Kamu tahu? Aku nggak
pernah bisa hidup dengan tenang. Selalu berpura-pura menjadi sahabat yang baik
di depan Luna, selalu menahan perasaan setiap kali kalian bermesraan. Kamu pikir
gampang jadi aku?” teriaknya tertahan.
Aku memeluknya, berusaha membuatnya tenang. Dia menangis.
“Baruna, sebenarnya siapa yang kamu pilih?” tanyanya putus
asa.
“Aku nggak tahu,” jawabku lirih, “aku mencintai kalian
berdua. Jangan suruh aku memilih.”
“Apa kamu akan meninggalkanku?”
“Tidak!”
“Kalau begitu tinggalkan Luna.”
“Tidak!”
“Tidak!”
“Baruna!”
“Tidak bisakah kita jalani saja seperti sekarang? Aku tidak
akan bisa meninggalkan salah satu dari kalian.”
Aku menarik wajahnya mendekat, kemudian menciumnya. Hangat.
“Kalian brengsek!” Sebuah teriakan membuat kami beku, kaku
di tempat, bahkan dengan bibir masih saling bertaut.
Suara itu disusul cepat dengan hantaman yang keras di
kepalaku. Aku jatuh tersungkur. Luna. Akhirnya Luna tahu tentang kami. Luna baru
saja melihat apa yang aku dan dia lakukan. Luna marah. Dengan kalap Luna
memukul dia. Aku masih bisa mendengar teriakan marah Luna dan rintih kesakitan
dia.
“Baruna Prihadiyoko, maukah kau menerimaku sama halnya aku menerimamu?” Samar ku dengar pertanyaan dengan nada mendesak dari Luna. Aku hanya mampu mengangguk, sebelum kemudian tatapanku mulai gelap, dan suara-suara di sekitarku lenyap.
“Baruna Prihadiyoko, maukah kau menerimaku sama halnya aku menerimamu?” Samar ku dengar pertanyaan dengan nada mendesak dari Luna. Aku hanya mampu mengangguk, sebelum kemudian tatapanku mulai gelap, dan suara-suara di sekitarku lenyap.
Sejak hari itu aku tidak pernah lagi bertemu dia. Luna bilang
telah menghanyutkannya ke laut setelah puas memukulinya. Mungkin dia sudah mati
dimakan ikan, begitu kata Luna.
Aku masih ingat kata-kata Luna sewaktu aku siuman pagi itu.
“Kamu menjijikkan, Bar! Kamu selingkuh dari aku? Sama dia? Seharusnya
aku tahu. Tapi tidak. Aku tidak pernah menyangka akan seperti ini jadinya.” Kilat
kemarahan terpancar dari mata Luna.
“Kita bertiga sudah lama bersahabat. Mana mungkin aku curiga
melihat kedekatan kalian? Kalian jahat! Kalian makhluk yang menjijikkan!”
teriak Luna marah.
“Aku cinta sama kamu, Baruna, sampai kapan pun. Setelah apa
yang kamu lakukan itu, aku tetap mencintai kamu. Sekarang tidak ada lagi dia. Dia
sudah mati. Tidak ada Arlan yang akan merebutmu dariku. Lelaki menjijikkan itu
sudah mati!”
*Sebuah tulisan untuk #15HariNgeblogFF2 hari kedua
No comments:
Post a Comment