The Other Side of Me: Jingga Di ujung Senja

Thursday, June 14, 2012

Jingga Di ujung Senja

Cerita keempat 
Cerita kelima


Suasana hiruk pikuk memenuhi tempat ini. Kuedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok Baruna di keramaian. Nihil. Kualihkan pandangan ke Jembatan Ampera yang membentang di atas Sungai Musi.  Warna merahnya berpadu sempurna dengan jingga senja. Air sungai memantulkan redup bayangannya. Aku suka senja. Selalu suka. Sudah tak terhitung senja yang kuhabiskan berdua dengan Baruna

Baruna, lelaki yang kusayangi lebih dari diriku sendiri. Baruna, lelaki yang ingin kumiliki untukku sendiri, tanpa terbagi. Aku bukan hanya mencintai Baruna. Aku memujanya.

“Maaf, Sayang, aku telat.” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Barunaku.
“Senja yang indah,” balasku. Dia memandang cakrawala jingga di atas sana. Tersenyum.
“Bagaimana kalau kita kesana,” ujarnya seraya menunjuk Jembatan Ampera.

Kami berjalan bersisian di atas jembatan. Menunduk ke bawah, memandang air sungai berwarna keruh yang mengalir deras ke hilir. Mendongak ke atas, menyaksikan sang mentari beranjak ke peraduan. Lampu-lampu mulai menyala, berkelap-kelip.

“Luna, aku mau ngomong sesuatu,” kata Baruna setengah ragu.
“Apa?”
Baruna menghela nafas panjang dan berat. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Tidak. Tidak akan aku biarkan itu terjadi. Semuanya harus sempurna bagiku. Hidupku harus sempurna. Tidak ada yang boleh menghalangi dan membuatnya tidak sesuai harapanku. Aku bisa melakukan apa pun untuk itu.

 “Kita berpisah saja.”
“…”
“Aku nggak bisa lagi sama kamu, Na.”
Aku menatapnya tajam. Andai saja tatapan mata bisa membunuh, dia pasti sudah mati.
“Kenapa?” tanyaku getir.
“Aku… aku…,”
“Ada perempuan lain yang kamu cintai? Atau… lelaki lain?” tanyaku sarkatis.
“Tidak!”
“Jangan bohong, Bar! Kamu sudah pernah selingkuh sekali, nggak akan susah buat selingkuh lagi.”
Dia menatapku. Tatapan yang tak bisa kudefinisikan artinya.
“Kamu sakit, Luna. Kamu sakit!”
“Apa maksudmu?”
“Aaaahhh…,” Baruna berteriak putus asa.
“Aku capek! Setiap kali kita bersama, aku teringat Arlan,” dia melanjutkan.
“Arlan sudah mati!” teriakku di depan mukanya.
“Justru karena itu. Justru karena dia sudah mati. Kamu yang membunuhnya!”
“Seorang pengkhianat hukumannya adalah mati!”
“Lalu kenapa kamu nggak bunuh aku?”
“Karena aku mencintaimu, Baruna!”

Baruna terdiam. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal. Senja yang indah mendadak menjadi muram di mataku. Aku benci perpisahan. Aku benci Baruna mengatakan itu. Aku tak akan membiarkan itu terjadi, apa pun caranya.

“Sudahlah, Luna. Tidak ada lagi yang harus dipertahankan. Aku menyerah. Aku akan pergi. Aku ingin melupakan semuanya. Arlan. Kamu. Kita.”

Baruna berbalik, berjalan meninggalkanku yang masih membeku memandang aliran Sungai Musi.

“Aku tidak akan membiarkan kamu meninggalkanku!” Aku berhasil menyusul, dan mulai menyerang dengan rentetan pukulan di punggungnya. Baruna berbalik, berusaha melindungi dirinya dariku.

“Kamu gila! Hentikan, Luna.” Tak kusangka, Baruna berbalik menyerangku. Dia berusaha mencekikku.
“Mungkin lebih baik kalau kamu mati. Kamu sudah membunuh Arlan. Kamu pantas mati.”

Aku tidak bisa bernafas. Aku bisa merasakan jari-jari Baruna yang kokoh tertempel kuat di leherku. Mataku mulai berkunang-kunang. Tidak. Aku tidak mau mati. Tidak di tangan kekasihku. Baruna mendorongku ke tepi, punggungku menempel di pembatas jembatan. Aku tidak bisa melawan, tenaga Baruna lebih kuat dariku. Aku merasakan tubuhku terangkat. Tidak… tidak… jangan! Baruna, apa yang kamu lakukan? Mendorongku ke bawah? Membiarkan tubuhku di telan arus Musi?

“Arlan, aku akan membalaskan kematianmu,” bisik lirih Baruna yang masih bisa di tangkap dengan jelas oleh telingaku.

Aku merasakan tubuhku melayang, terbang. Aku melihat kegelapan di bawah sana. Semakin lama semakin jelas. Ada suara air. Aku melihat air dimana-mana. Keruh dan deras. Aku merasakan dingin menyelimuti tubuhku. Tubuhku hanyut bersama arus.

Kriiiinnnggg

Suara alarm membangunkanku. Nafasku berkejaran dan peluh membasuh seluruh tubuhku. Mimpi. Itu Cuma mimpi. Lagi-lagi mimpi yang sangat buruk. Kuambil telepon genggam di atas meja. Ada pesan masuk. Dari Baruna.

Aku tunggu di Sungai Musi sore ini jam 5.

*Cerita berantai untuk #15HariNgeblogFF2 hari ketiga

1 comment:

Music Video of The Week