Cerita kelima
Suasana hiruk pikuk memenuhi tempat ini. Kuedarkan pandangan ke
sekitar, mencari sosok Baruna di keramaian. Nihil. Kualihkan pandangan ke
Jembatan Ampera yang membentang di atas Sungai Musi. Warna merahnya berpadu sempurna dengan jingga
senja. Air sungai memantulkan redup bayangannya. Aku suka senja. Selalu suka. Sudah
tak terhitung senja yang kuhabiskan berdua dengan Baruna
Baruna, lelaki yang kusayangi lebih dari diriku sendiri. Baruna,
lelaki yang ingin kumiliki untukku sendiri, tanpa terbagi. Aku bukan hanya
mencintai Baruna. Aku memujanya.
“Maaf, Sayang, aku telat.” Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Barunaku.
“Senja yang indah,” balasku. Dia memandang cakrawala jingga di atas
sana. Tersenyum.
“Bagaimana kalau kita kesana,” ujarnya seraya menunjuk Jembatan
Ampera.
Kami berjalan bersisian di atas jembatan. Menunduk ke bawah, memandang
air sungai berwarna keruh yang mengalir deras ke hilir. Mendongak ke atas,
menyaksikan sang mentari beranjak ke peraduan. Lampu-lampu mulai menyala, berkelap-kelip.
“Luna, aku mau ngomong sesuatu,” kata Baruna setengah ragu.
“Apa?”
Baruna menghela nafas panjang dan berat. Aku merasakan sesuatu yang
buruk akan terjadi. Tidak. Tidak akan aku biarkan itu terjadi. Semuanya harus
sempurna bagiku. Hidupku harus sempurna. Tidak ada yang boleh menghalangi dan
membuatnya tidak sesuai harapanku. Aku bisa melakukan apa pun untuk itu.
“Kita berpisah saja.”
“…”
“Aku nggak bisa lagi sama kamu, Na.”
Aku menatapnya tajam. Andai saja tatapan mata bisa membunuh, dia pasti
sudah mati.
“Kenapa?” tanyaku getir.
“Aku… aku…,”
“Ada perempuan lain yang kamu cintai? Atau… lelaki lain?” tanyaku
sarkatis.
“Tidak!”
“Jangan bohong, Bar! Kamu sudah pernah selingkuh sekali, nggak akan
susah buat selingkuh lagi.”
Dia menatapku. Tatapan yang tak bisa kudefinisikan artinya.
Dia menatapku. Tatapan yang tak bisa kudefinisikan artinya.
“Kamu sakit, Luna. Kamu sakit!”
“Apa maksudmu?”
“Aaaahhh…,” Baruna berteriak putus asa.
“Aku capek! Setiap kali kita bersama, aku teringat Arlan,” dia
melanjutkan.
“Arlan sudah mati!” teriakku di depan mukanya.
“Justru karena itu. Justru karena dia sudah mati. Kamu yang
membunuhnya!”
“Seorang pengkhianat hukumannya adalah mati!”
“Lalu kenapa kamu nggak bunuh aku?”
“Karena aku mencintaimu, Baruna!”
Baruna terdiam. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal. Senja yang
indah mendadak menjadi muram di mataku. Aku benci perpisahan. Aku benci Baruna
mengatakan itu. Aku tak akan membiarkan itu terjadi, apa pun caranya.
“Sudahlah, Luna. Tidak ada lagi yang harus dipertahankan. Aku menyerah.
Aku akan pergi. Aku ingin melupakan semuanya. Arlan. Kamu. Kita.”
Baruna berbalik, berjalan meninggalkanku yang masih membeku memandang
aliran Sungai Musi.
“Aku tidak akan membiarkan kamu meninggalkanku!” Aku berhasil
menyusul, dan mulai menyerang dengan rentetan pukulan di punggungnya. Baruna
berbalik, berusaha melindungi dirinya dariku.
“Kamu gila! Hentikan, Luna.” Tak kusangka, Baruna berbalik menyerangku.
Dia berusaha mencekikku.
“Mungkin lebih baik kalau kamu mati. Kamu sudah membunuh Arlan. Kamu pantas
mati.”
Aku tidak bisa bernafas. Aku bisa merasakan jari-jari Baruna yang
kokoh tertempel kuat di leherku. Mataku mulai berkunang-kunang. Tidak. Aku tidak
mau mati. Tidak di tangan kekasihku. Baruna mendorongku ke tepi, punggungku
menempel di pembatas jembatan. Aku tidak bisa melawan, tenaga Baruna lebih kuat
dariku. Aku merasakan tubuhku terangkat. Tidak… tidak… jangan! Baruna, apa yang
kamu lakukan? Mendorongku ke bawah? Membiarkan tubuhku di telan arus Musi?
“Arlan, aku akan membalaskan kematianmu,” bisik lirih Baruna yang
masih bisa di tangkap dengan jelas oleh telingaku.
Aku merasakan tubuhku melayang, terbang. Aku melihat kegelapan di
bawah sana. Semakin lama semakin jelas. Ada suara air. Aku melihat air
dimana-mana. Keruh dan deras. Aku merasakan dingin menyelimuti tubuhku. Tubuhku
hanyut bersama arus.
Kriiiinnnggg
Suara alarm membangunkanku. Nafasku berkejaran dan peluh membasuh
seluruh tubuhku. Mimpi. Itu Cuma mimpi. Lagi-lagi mimpi yang sangat buruk. Kuambil telepon
genggam di atas meja. Ada pesan masuk. Dari Baruna.
Aku tunggu di Sungai Musi sore
ini jam 5.
*Cerita berantai untuk #15HariNgeblogFF2 hari ketiga
wow banget, mbak..
ReplyDeletenahan nafas bacanya..
hheheeee