Cerita kelima belas
Kubaca kalimat yang tertulis di sebuah kartu ucapan berwarna biru,
yang kuterima bersama setangkai mawar berwarna sama. Ku pandangi penuh curiga
pria yang kini duduk di depanku.
“Siapa kamu?” tanyaku ketus.
“Kan udah bilang tadi, namaku Jimmy,” jawabnya cuek.
“Memangnya kamu kenal aku? Gimana bisa tahu sekarang aku ulang tahun? Dan
gimana bisa tahu aku disini?” tanyaku semakin curiga. Dia malah tertawa. Ingin sekali
kumasukkan bunga di tanganku ini ke mulutnya yang sedang tertawa lebar.
“Luna… Luna…!”
Dia buka ranselnya dan mengeluarkan sesuatu. Buku.
“Kalau nggak mau dikenal orang, jangan nulis buku!” jawabnya enteng.
“Aku suka baca buku-buku kamu, ngikutin perjalanan kamu yang menarik. Luna
sang traveler tangguh. Cool. Aku ini
pengagummu. Jadi… maukah kamu tanda tangan di buku ini?” Dia menyodorkan buku bersampul
biru itu ke hadapanku.
Aku memang sudah menulis beberapa buku, tapi aku bukan seorang penulis
yang terkenal. Travel writer tidak
sepopuler penulis roman. Tapi yang membuatku tak habis pikir, lelaki ini tahu
hari ulang tahunku. Dia ingat. Sementara Baruna, kekasihku, bahkan mungkin lupa
sama sekali. Aku tidak ingin mengingatkannya. Aku tidak akan merengek-rengek
agar dia mengucapkan kalimat selamat ulang tahun untukku. Tidak. Bukan itu yang
kuinginkan. Aku hanya ingin perhatiannya. Aku hanya ingin diingat. Kalau Arlan,
dia pasti akan selalu ingat hari ulang tahunku. Aahh, mengapa tiba-tiba aku
jadi teringat Arlan?
Suasana Pasar Klewer sangat ramai. Sebenarnya aku malas kesini, aku
tidak suka tempat ramai. Jimmy yang memaksaku ikut kesini. Huft, mengapa pula
aku harus menuruti orang ini? Bertemu saja baru pagi tadi. Mungkin karena aku
tidak ingin melewatkan hari ulang tahunku sendirian. Betapa menyedihkan kalau
itu terjadi.
“Eh, lucu deh itu bajunya,” ujar Jimmy tiba-tiba.
“Iya lucu,” balasku. Kuambil baju batik itu dan menempelkan di
badanku. “Cocok nggak?” Dia mengangguk.
“Berapa, Bu?
“Lima puluh ribu,” jawab si ibu penjual.
“Tiga puluh ribu deh, Bu, saya beli yang itu,” balas Jimmy.
“Tambah lima ribu, Mas.”
“Boleh tiga puluh ribu saya ambil, kalau nggak boleh ya nggak jadi.”
Jimmy menarik tanganku, bersiap meninggalkan tempat itu.
“Ini mas, ambil sini,” panggil ibu penjual.
Dan dalam sekejab, baju batik yang lucu itu sudah berpindah ke
tanganku. Hadiah ulang tahun untukku, kata Jimmy. Kekasihku saja tidak memberi hadiah
apa-apa, batinku.
Siang ini Jimmy mengajakku makan serabi di sekitar Pasar Klewer.
“Kamu harus cobain yang ini, enak banget!” katanya bersemangat. Kupotong
dengan sendok serabi di hadapanku, dan kusuapkan ke mulut.
“Heeemm… ini benar-benar enak. Kamu tahu aja, sih, tempat jualan
serabi yang enak.”
Kami menikmati santapan siang kami dengan lahap. Aku sudah
berkali-kali makan serabi Solo, tapi bagiku ini yang paling nikmat. Entah karena
memang rasanya paling enak, atau karena aku makan dengan perasaan gembira.
Jimmy. Dia senang bercanda, seperti Arlan. Dia selalu tertawa. Tawa yang
hangat. Entah mengapa hatiku ikut menjadi hangat, sehangat serabi yang baru
saja masuk ke mulutku. Aku bahagia hari ini. Aku tidak harus melewati hari ini
seorang diri.
Telepon genggamku bergetar. Pesan masuk. Baruna.
Aku ada tugas ke Singapore,
berangkat sore ini.
Kumasukkan telepon genggamku ke dalam saku celana dengan kesal. Dia benar-benar
lupa.
No comments:
Post a Comment