The Other Side of Me: Sepanjang Jalan Braga

Saturday, June 16, 2012

Sepanjang Jalan Braga

Cerita kesepuluh
Cerita kesebelas
Cerita kedua belas
Cerita ketiga belas

 “Mang, boleh saya beli sketsa ini?”
“Ya boleh atuh, Neng.”
“Apa Mamang masih menyimpan fotonya?” tanyaku penasaran.
“Foto apa, Neng?”
“Foto asli dari sketsa ini. Ah, mungkin sudah nggak ada, ya, Mang. Sudah empat tahun yang lalu,” ujarku kecewa.
“Oh… sebentar ya, Neng, Mamang carikan, siapa tahu masih ada.”

Hari itu Arlan tidak sempat mengambil sketsa yang telah dipesannya karena mendadak sakit perut yang mebuatnya terbaring lemah tak berdaya di penginapan dan melupakan soal sketsa. Karena hal itu juga, aku dan Baruna terpaksa harus menemaninya di penginapan. Padahal kami masih belum keliling Bandung, baru sempat ke Braga pagi itu saja.
“Pasti gara-gara makan cilok tadi,” keluh Arlan.
“Aku sama Baruna juga makan cilok yang sama, tapi kami sehat-sehat saja, tuh,” sanggahku.
“Perut kamu aja itu yang manja, Ar, hahaha,” ejek Baruna.
Arlan menyuruh kami melanjutkan acara jalan-jalan tanpa dia, tapi kami menolak. Tidak mungkin kami berdua jalan-jalan, bersenang-senang, sementara dia terbaring kesakitan di penginapan, sendirian.

Aku menyayangi Arlan sama seperti aku menyayangi Baruna. Awalnya. Kami bersahabat sejak masih mengenakan seragam putih biru. Sampai sekarang aku masih heran bagaimana kami bisa bersahabat. Aku, Baruna, dan Arlan, kami sangat berbeda. Hampir dalam segala hal. Arlan yang pendiam dan kutu buku, yang selalu menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di perpustakaan sekolah, selain di kelas tentunya. Baruna, seorang idola di sekolah, kapten tim sepak bola sekolah yang banyak disukai cewek-cewek SMP kami. Tapi dia tidak pernah merasa kalau dia begitu diidolakan. Dia tetaplah Baruna, yang dingin dan cuek tapi baik hati. Dan aku, Luna si biang onar sekolah, tamu tetap guru BP, langganan mendapat skorsing, beruntung sekali aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Mungkin aku tidak dikeluarkan hanya karena ayahku adalah orang terpandang di kota kami.

Arlan adalah sahabat yang baik. Arlan sering membantuku mengerjakan PR, menjelaskan dengan sabar pelajaran yang tak kupahami. Aku berhasil menjadi travel writer seperti sekarang juga tak lepas dari bantuannya. Dia yang mengajariku bagaimana menulis yang baik, mengajariku fotografi. Arlan lebih seperti guru bagiku.

Kami bertiga sangat dekat. Aku menyayangi Arlan sama seperti aku menyayangi Baruna sampai ketika Baruna kembali ke Indonesia. Sewaktu lulus SMP dia ikut orang tuanya ke luar negeri. Dan di sepanjang jalan inilah, pertama kali aku bertemu Baruna setelah delapan tahun berpisah. Entah bagaimana, perasaanku tiba-tiba berubah. Baruna bukan lagi hanya seorang sahabat bagiku. Aku mencintainya. Aku memujanya. Dia adalah segalanya bagiku. Gadis pemberontak itu jatuh cinta. Itu cinta pertamaku.

Baruna adalah kekasih yang baik. Itulah mengapa aku tak ingin kehilangan dia. Seharusnya hari ini aku bersamanya disini. Banyak kenangan kami disini. Jalan Braga ini, tempat sejuta kenangan telah kami ukir. Kami bertiga, maupun kami berdua, aku dan Baruna. Aku merindukan Baruna saat ini.

“Neng…”
Aku tersadar dari lamunan masa laluku. Masa lalu yang indah.
“Sudah ketemu, Mang?” tanyaku.
“Mamang baru ingat. Beberapa hari yang lalu sudah diambil fotonya.”
“Diambil? Siapa?”
Atuh si Mamang juga nggak tahu, Neng.”
“Seperti apa orangnya?” tanyaku penasaran. Siapa yang mengambil foto itu? Baruna?
“Laki-laki, kasep. Kalau nggak salah orangnya agak pendek dan rambutnya keriting.”
“Apa…?” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Tiba-tiba tubuhku lemas. Tidak mungkin. Tidak mungkin Arlan yang mengambilnya. Arlan sudah mati. Aku yang membunuhnya.

 *Cerita berantai untuk #15HariNgeblogFF22 hari kelima

No comments:

Post a Comment

Music Video of The Week