Cerita kesebelas
Cerita kedua belas
Cerita ketiga belas
“Mang, boleh saya beli sketsa ini?”
“Ya boleh atuh, Neng.”
“Apa Mamang masih menyimpan fotonya?” tanyaku penasaran.
“Foto apa, Neng?”
“Foto asli dari sketsa ini. Ah, mungkin sudah nggak ada, ya, Mang. Sudah
empat tahun yang lalu,” ujarku kecewa.
“Oh… sebentar ya, Neng, Mamang carikan, siapa tahu masih ada.”
Hari itu Arlan tidak sempat mengambil sketsa yang telah dipesannya
karena mendadak sakit perut yang mebuatnya terbaring lemah tak berdaya di penginapan
dan melupakan soal sketsa. Karena hal itu juga, aku dan Baruna terpaksa harus
menemaninya di penginapan. Padahal kami masih belum keliling Bandung, baru
sempat ke Braga pagi itu saja.
“Pasti gara-gara makan cilok tadi,” keluh Arlan.
“Aku sama Baruna juga makan cilok yang sama, tapi kami sehat-sehat
saja, tuh,” sanggahku.
“Perut kamu aja itu yang manja, Ar, hahaha,” ejek Baruna.
Arlan menyuruh kami melanjutkan acara jalan-jalan tanpa dia, tapi kami
menolak. Tidak mungkin kami berdua jalan-jalan, bersenang-senang, sementara dia
terbaring kesakitan di penginapan, sendirian.
Aku menyayangi Arlan sama seperti aku menyayangi Baruna. Awalnya. Kami
bersahabat sejak masih mengenakan seragam putih biru. Sampai sekarang aku masih
heran bagaimana kami bisa bersahabat. Aku, Baruna, dan Arlan, kami sangat
berbeda. Hampir dalam segala hal. Arlan yang pendiam dan kutu buku, yang selalu
menghabiskan hampir sebagian besar waktunya di perpustakaan sekolah, selain di
kelas tentunya. Baruna, seorang idola di sekolah, kapten tim sepak bola sekolah yang banyak
disukai cewek-cewek SMP kami. Tapi dia tidak pernah merasa kalau dia begitu diidolakan. Dia tetaplah Baruna, yang dingin dan cuek tapi baik hati. Dan aku, Luna si biang onar sekolah, tamu tetap
guru BP, langganan mendapat skorsing, beruntung sekali aku tidak dikeluarkan
dari sekolah. Mungkin aku tidak dikeluarkan hanya karena ayahku adalah orang
terpandang di kota kami.
Arlan adalah sahabat yang baik. Arlan sering membantuku mengerjakan
PR, menjelaskan dengan sabar pelajaran yang tak kupahami. Aku berhasil menjadi travel writer seperti sekarang juga tak
lepas dari bantuannya. Dia yang mengajariku bagaimana menulis yang baik, mengajariku
fotografi. Arlan lebih seperti guru bagiku.
Kami bertiga sangat dekat. Aku menyayangi Arlan sama seperti aku
menyayangi Baruna sampai ketika Baruna kembali ke Indonesia. Sewaktu lulus SMP dia ikut orang tuanya ke luar negeri. Dan di sepanjang jalan inilah, pertama kali aku bertemu Baruna setelah delapan tahun berpisah. Entah bagaimana, perasaanku tiba-tiba
berubah. Baruna bukan lagi hanya seorang sahabat bagiku. Aku mencintainya. Aku memujanya.
Dia adalah segalanya bagiku. Gadis pemberontak itu jatuh cinta. Itu cinta
pertamaku.
Baruna adalah kekasih yang baik. Itulah mengapa aku tak ingin
kehilangan dia. Seharusnya hari ini aku bersamanya disini. Banyak kenangan kami
disini. Jalan Braga ini, tempat sejuta kenangan telah kami ukir. Kami bertiga,
maupun kami berdua, aku dan Baruna. Aku merindukan Baruna saat ini.
“Neng…”
Aku tersadar dari lamunan masa laluku. Masa lalu yang indah.
“Sudah ketemu, Mang?” tanyaku.
“Mamang baru ingat. Beberapa hari yang lalu sudah diambil fotonya.”
“Diambil? Siapa?”
“Atuh si Mamang juga nggak
tahu, Neng.”
“Seperti apa orangnya?” tanyaku penasaran. Siapa yang mengambil foto
itu? Baruna?
“Laki-laki, kasep. Kalau
nggak salah orangnya agak pendek dan rambutnya keriting.”
“Apa…?” aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Tiba-tiba
tubuhku lemas. Tidak mungkin. Tidak mungkin Arlan yang mengambilnya. Arlan sudah
mati. Aku yang membunuhnya.
*Cerita berantai untuk #15HariNgeblogFF22 hari kelima
No comments:
Post a Comment